Pages

Selembar Kertas Di Malam Hari

Selasa, 20 November 2012


Selembar Kertas Di Malam Hari.

Saya adalah seorang Gadih Minang yang sedang menyusun mimpi.
Memilih antara keinginan dan kebutuhan.
Yang sedang menunggu untuk bahagia.

“Kamu percaya mimpi?”
Kalau kamu percaya, berarti kamu percaya apa yang tidak mungkin itu bisa jadi nyata.
Selalu saya ingat kata-kata teman saya yang itu.

Ingatlah bahwa pagi itu akan berlalu menjadi siang tanpa kamu sadar,
dan siang pasti akan menjadi sore setelah matahari mulai meredup,
senja, jangan biarkan menjadi malam sebelum kamu menemukan satu cerita indah di hari ini.

Tentang jodoh? Saya percaya jodoh itu jalannya menarik.
Mungkin dia adalah tetangga saya,
Atau orang di seberang rumah saya,
Atau teman kakak saya,
Atau mantan pacar sahabat saya,
Atau bisa jadi sahabat saya sendiri?
semua bisa jadi mungkin jika Yang Diatas sudah berkata.

kita tidak pernah tau jalan apa yang ada di depan kita?
Yang kita tau hanya jalani saja.
Syukur-syukur jalannya benar,
Kalau salah ya balik lagi.

Dan yang terakhir adalah tentang tujuan?
Mau jadi apa saya sebenarnya?
Mau kearah mana kaki saya sebenarnya?
Saya sendiri saja tidak tau arah apalagi tujuan.
Saya butuh dibimbing, bukan pembimbing.
Saya butuh diingatkan, bukan diteriakkan.
Saya butuh satu orang, bukan banyak.
Ya, itu saja..


 Gito.

Akhirnya hari itu tiba, hari yang dinantikan seluruh keluarga ini, yaitu menunggu kedatangan keluarga Om Hen. Hari ini adalah Lebaran kedua, diluar masih ramai dengan suara anak-anak yang datang “menambang” (bertamu untuk meminta THR). Dan saya hanya merasakan kesenangan mereka dari balik jendela kamar ini.

Keluarga Om Hen memang sudah lama tidak pulang ke Padang, kira-kira lima tahun tidak Lebaran di Kampung halaman, jadi sekalinya pulang adalah momen yang dinantikan para keluarga jauhnya disini, termasuk keluarga saya. Dan juga sekaligus akan menyampaikan maksud baik dari keluarga saya tentunya.

Dari kemarin Anduang sudah telpon-telponan dengan Om Hen untuk memastikan bahwa hari ini mereka jadi kesini, dan mereka menjawab “ya..”, itu berarti mereka pasti akan kesini hari ini. Dari pagi di dapur sudah ribut tidak jelas. Sesekali terdengar suara piring pecah, gelak tawa, teriakan, hingga mesin parutan kelapa yang nggak berhenti menyala dari tadi. Heran.. Pada mau masak besar kali ya? Seperti ada tamu agung saja.

Di sisi lainnya, ada seorang saya yang sedang tidak jelas bentuk hatinya. Di dalam kamar ini saya hanya berteman dengan cermin. Katanya harus dandan, jangan acakadun seperti biasanya. Tapi, saya ya begini orangnya, nggak suka dandan karena kata bang Onal sudah cantik kok! Yaudah apa adanya saja. Syukur-syukur nggak suka, tapi kalau tetap suka, mau bagaimana lagi, berarti itu takdir, nggak bisa dihelakkan. Hah? Bangun Nola.. seolah saya masih belum percaya tentang perjodohan ini.

Di sisi satunya lagi, ada seorang saya dari tingkat imajinasi tinggi yang sedang membayangkan dan merekayasa kejadian yang akan terjadi beberapa saat lagi. Dimulai dari keluarga mereka datang, duduk, makan-makan, ketawa-ketiwi, sampai ngobrol serius, saya bak gadis lugu yang hanya diam di sebuah kursi dan malu-malu menatap mata mereka yang sedang membicarakan saya. Apakah akan seperti itu nantinya? Aduh saya jadi malu sendiri kalau memang benar.

Atau imajinasi yang kedua, belok kearah yang lebih ekstrim. Dengan saya yang mencak-mencak tidak jelas saat mereka datang, lalu menjadi cerewet yang naudzubillah, mungkin akan terlihat konyol dimata mereka, lalu pulang dan tidak menerima perjodohan itu.

Kenyataannya pikiran saya lebih berat kepada “tidak jadi dijodohkan” memang, dibandingkan dengan “Jadi”. Karena dari semalam hingga kini, hati saya berusaha memberontak perjodohan itu. Bahkan sekalipun sebenarnya Gito anaknya Om Hen itu adalah laki-laki tegap dan tampan seperti Channing Tatum.

Waktu berlalu begitu cepat disaat saya tidak suka sebuah momen yang akan terjadi sebentar lagi. Kami di rumah ini sudah rapi semua, termasuk saya. Dengan terusan abu-abu polkadot dan hijab polos warna hitam saya menunggu di depan Tv sambil memegang handphone. Memang nggak jelas sih, mau nonton apa mau browsing? Saya gelagapan.

Jam 10 pagi lewat 15 menit, sepertinya hawa mencekam mulai terasa. Saya nggak karuan dengan suara-suara mobil diluar. Dan darah saya luruh ke hati dan jantung saat ada satu mobil masuk pagar rumah Anduang. Dan mata semua tertuju kepada saya? lah kenapa? Memang saya belum cantik ya? Kok gitu sih ekspresinya?

Yap, benar sekali. Itu adalah Om Hen. Kalau ditanya bagaimana perasaan saya saat itu adalah zonk… ingin nonton Doraemon aja rasanya, biar agak legaan. Tapi ternyata Film Doraemonnya nggak ada.

Satu langkah demi satu langkah saya menuju kedepan rumah sambil membayangkan wajah yang akan saya lihat. Seperti apa ya Gito dewasa? Tapi.. Allah berkehendak lain. Yang datang ternyata hanya Om Hen dan Tante Werti istrinya, dan satu lagi anak kecil kira-kira berumur 3 Tahun sedang dibimbing oleh Tante Werti masuk kedalam rumah.

            “asalamualaikum..” mereka serentak mengucapkan salam.
            “waalaikumsalam..” dan kami pun serentak menjawabnya.
            “bertiga saja Hen?” ibuk bertanya.
            “iya.. pada jalan-jalan ke Bukittinggi, maklumlah Tek sudah lama nggak pulang!”
            “oooo… masuk-masuk..”
            “ini cucu Om?” bang Onal bertanya sambil mencoba menggendong anak tersebut.
            “ohiya Nal.. anaknya Gina..”
            “Gina nya mana da Hen? Anaknya disini ibunya nggak ada” Mak dang bertanya.
            “lagi mules-mules terus dari kemarin, biasalah Lebaran kebanyakan makan kacang!”
            “ooo… iya lagi musim sakit kalau abis Lebaran gini..” sambung Ibuk.
“Gito om? Apakabarnya dia?” ekspresi bang Onal bertanya seolah-olah udah dekat banget dengan calon iparnya itu. Huft..
“nggak Nal, dia lagi jalan-jalan ke Bukit sama calon istrinya, kebetulan banget ni sekarang Om sambil nganterin undangan pernikahannya!”

Dan, semuanya melongoh. Pada kenyataannya Allah sudah mengatur segalanya menjadi manis sekali. Untung keluarga saya belum sempat mengutarakan niat baik itu, kalau sudah kan jadi malu sendiri.. ternyata yang bersangkutan sudah laku duluan. Walah-walah.. berlonjak dalam hati.

Semenjak kejadian itu, sepertinya Mak adang tidak berkutik apa-apa lagi soal perjodohan saya, dan berikut Anduang bahkan hingga Ibuk dan Mama. Entah mereka yang kecewa, atau justru kasian dengan saya, yang jelas percakapan tentang perjodohan itu sudah selesai. Dan berikutnya saya kembali merencanakan mimpi baru. Saya percaya akan jalan Allah itu menarik, yang penting saya tetap jadi orang baik, pasti dapat yang baik. Yeay..



 Mama Bicara Serius.

Semenjak kejadian gagal dojodohin Lebaran kemarin, mama jadi baik banget sama saya. Hampir tiap hari diajak keluar rumah, entah itu hanya ke supermarket saja atau sekedar makan gado-gado dekat rumah. Dalam hati saya, kok kesannya saya yang dikasihani ya, padahal sebenarnya saya itu gembira sekali perjodohan itu batal. Tapi yaudahlah ya, diterima saja bonusnya, kapan lagi coba, mama yang pelit ini ajak saya makan diluar tiap mama pulang mengajar.

“da, gado-gadonya super pedas ya, rawitnya 7” dengan pede nya saya pesan gado-gado level 7 kali ini.
“eh kamu… nanti sakit perut! Jangan ih..” mama dengan nada khawatir.
“mam, kemaren rawitnya 5 tuh masih belum nendang..!”
“iya tapi jangan 7 juga, mama nggak tanggung jawab ya kalau kamu dirumah mencret!”
“hahahaha, iyaa mam!”

Tidak lama, gado-gadol level 7 pun datang, kuah kacangnya agak beda dari kemaren memang, lebih mantap. Beda sekali dengan gado-gado pesanan mama yang cuma pakai 3 rawit, karena mama punya gangguan lambung, jadi nggak berani makan makanan pedas yang sampai doer.

            “hmmm… ini mantappp!” saya sampai memberikan jempol sama piring gado-gadonya.
            “habisin, awas nggak abis, mama bayarnya pake duit bukan pake daun”
            “tenang maa..”

Sesuap masih belum berasa nendangnya, tapi pada suapan ke tiga, sudah mulai ada yang mengigit di lidah. Ini baru rawit namanya, dan keringat mulai bercucuran di kening, mana hari itu lagi panas terik. Mantap bangetlah…

            “dek, sebenarnya mama mau bicara ini……”
“bicara? Tumben mam, mau bicara harus ngajak makan dulu, kan tinggal ke kamar nola aja, terus kita bicara!”
“hmm… iya juga sih, jadi nggak keluar duit gini ya dek!” mama sambil senyum.
“tuh.. pelitnya udah mulai keluar deh…”
“mama mau puasin makan dan jalan-jalan sama kamu dek, sebelum nanti kamu merantau!”
“hah?” gado-gado saya yang udah pedas, ketelen lagi belum sempat ngunyah, apalagi yang ketelah itu rawitnya, saya sampai batuk-batuk karena perih banget di tenggorokan mendengar jawaban mama.
“tuh kan, mama udah bilang, jangan pedes-pedes banget…”
“uhuk..uhuk..” sampai berair nih mata karena perih rawitnya.
“minum dulu dek.. minum nih” mama sambil menyuapin saya minum.

Mimpi apa saya semalam, atau mama yang mimpi apa semalam, sampai mama membicarakn soal saya “merantau”.

            “mam, itu maksudnya merantau apa? Uhuk..uhuk..” masih batuk.
“iya dek, mama udah bicara sama papa dan abang, mereka setuju kalu kamu merantau, masa uji coba dulu lah dalam tiga bulan kedepan!”
“beneran Mam??” seolah masih belum percaya tentang ini.
“beneran dek.. yang keras sebenarnya kan Mama yang nggak ngebolehin kamu merantau! Jadi kata Papa kamu, Mama yang harus bicara sama kamu soal ini!”
“ya ampun mam.. senang banget dengarnya!” sambil kita berpelukan.
“iya dek, maafin Mama ya mengurung kamu kaya gini!”

Si uda gado-gado sampai memperhatikan tingkah kami berdua yang aneh, berpelukan, mama sedikit menitikkan air mata, dan saya nggak jelas antara mau nangis atau mau teriak senang. Yang jelas hari ini, ada harapan baru dari doa-doa saya setiap malam. Allah sedang membuka pintu untuk mewujudkan mimpi saya di depan sana. Yeay…

“trus mam, gimana soal Ibuk, Anduang, dan Mak dang. Mereka ngebolehin nola merantau nggak?”
“udah dek, sebenarnya abis Lebaran kemarin kita sudah sempat ngomongin soal ini, cuma kamu nya aja yang nggak tau!”
“ohiya? Kapan ada sidang begitu kok nola nggak tau!”
“ya adalah, makanya kalo Lebaran tu jangan makan-tidur aja kerjaannya..” ketus mama.

Sepertinya setelah kepulangan om Hen dari Rumah Anduang waktu itu, dan membawa kabar tidak enaknya, keluarga saya membahas tentang nasib saya mau jadi apa. Ya, semenjak lulus wisuda, kerjaannya cuma mondar-mandir di dalam rumah saja, mungkin mereka kasian lihat saya. Dan say thank you to Om Hen. Kalau saja tidak ada Om Hen yang memberikan kabar itu, mungkin belum tentu akan ada pembahasan soal “Merantau” ini.

            “da, gado-gado level 7 nya bungkus satu ya” saya mengebu-ngebu.
            “eh, buat siapa?”
            “senang jadi laper terus ma, buat nanti..hehehe..”

Dan kami pulang dengan wajah saya yang berseri-seri. Dan Jakarta sedang ada di pelupuk mata.


 Hari Kebebasan

Hari ini tidak akan pernah saya lupakan, hari kebesan saya dari rumah ini. Bukannya saya membenci tinggal disini, tapi saya hanya ingin mencoba dunia luar bagaimana rasanya. Katanya, orang Minang itu kan terkenal merantau, masa nenek moyangnya merantau, cicitnya nya nggak bisa merantau? Bukan turun temurun dong namanya.

Hati saya bercampur aduk rasanya. Sedikit ada rasa takut dan penasaran apakah saya akan baik-baik saja tinggal di rantau orang seorang diri? Tidak hanya itu, sebuah tanggung jawab juga harus saya pikul setelah selangkah keluar dari rumah dengan 3 buah koper ini. Akankah saya bisa mempertanggungjawabkan perkataan saya kepada orang tua dan keluarga besar saya tentang “ingin mandiri?”.

Nenek seakan tidak rela, setelah berpamitan beliau tidak berhenti menatap saya dari pintu kamar hingga ke pagar. Mama dan papa juga, sesekali mereka cerewet soal hati-hati, dan berulangkali mengucapkan “jaga kesehatan, kalau ada apa-apa langsung beri kabar kerumah” dan ceramahan lainnya yang sudah berlangsung dari tadi malam. Abang yang sepertinya terlihat lebih adem dan merelakan adiknya untuk berjuang dirantau orang, tiba-tiba memeluk saya lama sekali saat akan mengantarkan saya ke BIM (Bandara Internasional Minangkabau). Pecah sudah suasana rumah di hari keberangkatan saya. Saya yang sudah berusaha menahan tangis dari tadi, ternyata kalah juga, dan haru-biru lah suasana pagi itu.

            “dek, obat-obatan semalam sudah masuk tas semua?”
            “udah mam..”
            “dek, sampai disana langsung telpon kerumah ya?”
            “iya mam..”
            “dek, kalau sakit kasih kabar, biar mama kesana!”
            “siap mam..”
            “dek, kalau uang habis, bilangin ke mama atau papa ya!”
            “makasih mam..”
            “dek jangan nakal-nakal disana”
            “oke mam”
            “pokoknya kalau ada apa-apa kasih tau ya nak..” papa menyambung.
            “iya papa… makasih ya pa”? sambil memeluk mama dan papa.

Namanya juga baru pertama kali, ya pastilah mama akan secerewet ini. Yang hari biasa saja sudah cerewet soal ini-itu, apalagi soal merantau yang anaknya akan jauh dari penglihatannya, ya pastilah akan dibahas semuanya dari A hingga Z. Walau sedikit sedih karena akan jauh dari keluarga sementara waktu, namun ada setitik bahagia karena salah satu keinginan saya akhirnya tercapai juga. Yeayy…

Pesawat saya berangkat jam 11.30 siang, jam 10 lewat 5 menit saya sudah sampai di Bandara BIM. Setelah berpelukan lagi dengan abang, dan sedikit bisikan lirihnya saya menghapus air mata yang kesekian kalinya. “adek disana hati-hati ya banyak orang jahat!” dan si abang langsung berlalu mebalik badan menuju parkiran. Sepertinya abang juga sedang menangis, dan malu dengan adiknya kalau ketahuan sedang menyeka air matanya. Dalam hati saya menjawab “iya bang, adikmu akan selalu hati-hati!”

Hari ini, seperti menonton drama Korea, saya menangis terisak-isak saat membayangkan satu persatu wajah keluarga saya. Kok jadi lebay yah? Padahal Padang-Jakarta kan cuma 2 jam, bisa saja pulang kapan saja. Anggap saja seperti Padang-Bukittinggi yang ditempuh dengan jarak dan waktu yang sama. Ah, ini hanyalah masalah pertama kali, nanti kalau sudah terbiasa jadi biasa aja kok.

See you Padang, I will miss you everyday, saat saya melihat keluar jendela ketika Pesawatnya take off, dan saya nangis kembali. Padahal ini bukan drama korea, saat Goo Jun Pyo meningglakan Geum Jan Di keluar Negeri. Ini tuh nyata, sebentar lagi saya akan melalui hari-hari sendiri tanpa mereka yang dekat di hati.

Dari atas pesawat, terlihat kota Padang sudah jauh berlalu. Masuklah suasana seribu pulau yang indah. Pulau-pulau kecil yang terlihat seperti semut dari jendela peswat ini, ya.. sebentarlagi pesawat akan mendarat di bandara Soekarno Hatta, itu tandanya bendera kemerdekaan sudah dikibarkan. Inilah hari pembebasan itu. Tidak mudah menuju hari ini buat saya, saya harus melalui banyak cerita dulu, sampai harus melewati sinetron perjodohan segala. Tapi, semua indah pada waktunya kan. Saya percaya akan hari ini pasti datang.

Tentang Saya

Rabu, 17 Oktober 2012



Tentang Saya

Perkenalkan saya Nola, anak bungsu dari dua bersaudara. Dan cucu perempuan satu-satunya di keluarga. Karena Ibuk (saya memanggil Nenek saya dengan sebutan Ibuk karena sejak kecil sering ikut-ikutan Mama memanggil “Ibuk”) cuma punya anak tunggal yaitu mama saya, yaiyalah saya jadi cucu perempuan satu-satunya, dan Bang Onal, abang saya juga jadi cucu laki-laki satu-satunya.

Nenek saya enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga lagi perempuan. Kalau di Minang, harta itu akan jatuh pada pihak perempuan, karena garis keturunannya adalah Matrilineal. Jadi harta keluarga besar Nenek saya itu akan jatuh kepada tiga saudaranya. Ibuk, Amak, dan Anduang. Saya menyebut ketiga nenek saya seperti itu.

Ibuk yang paling tua, punya anak satu cuma Mama saya. Yang kedua yaitu Amak punya tiga orang anak, dan laki-laki semua. Dan yang ketiga Anduang, sayangnya Anduang tidak diberikan rejeki keturunan oleh Allah swt, jadi garis keturunan akhirnya jatuh kepada saya. Banyak yang berkata kalau saya beruntung dengan keadaan seperti ini, padahal di dalam hati ini merenungkan nasib saya yang akan menjadi penjaga rumah saja mengurusi semuanya.

Menjadi Gadih Minang itu sebenarnya bukan pilihan saya, dimana seorang perempuan harus menunggu rumah saja, menanti suami pulang dan mengurusi anak-anak nantinya kelak sudah menikah! Oh tidak, itu bukan gaya saya dan jauh dari cita-cita saya, tapi apa jadinya kalau saya tidak terlahir dari rahim Mama yang bukan keturunan Minang? melainkan dari rahim ibu lain yang tinggalnya di Timor Leste atau Papua? Hah? Cuma bisa bengong dan membayangkan Mama bukan Mama saya? “tidak..tidak...”.

Gadih Minang itu harus penurut, diam dirumah, dipilihkan jodohnya, dan masih banyak lagi yang berkaitan dengan yang lurus-lurus saja, sedangkan diluar sana perempuan sudah banyak yang lebih maju, sudah adapula yang jadi Presiden. Tapi kenapa Gadih Minang disini hanya boleh menunggu rumah saja? Seharusnya keluarga saya diberi ceramah politik nih, agar cucu perempuannya ini bisa jadi pemimpin juga. Eh, Aamiin.

Hidup itu memang komplit, membingungkan, dan kadang entahlah. Saya tidak tau jalan apa yang sedang saya jalani saat ini? Seperti sudah dagarisi takdirnya untuk menjadi penjaga rumah saja. Semenjak resmi menyandang Sarjana sebulan yang lalu, saya juga resmi bekerja menjadi seorang “pengacara” yaitu pengangguran banyak acara, yang kerjaannya mengukur panjangnya rumah setiap hari karena mondar-mandir terus, dan sesekali menjadi perempuan stress di depan TV yang sebentar ketawa dan sebenetar nangis saat nonton FTV.

Mau cari kerja susah, punya pacar belum, uang nggak ada, dirumah bosan, keluar nggak ada teman, diomelin Mama terus, nggak bisa masak, berjerawat, pengen ke Jakarta, pengen merantau, pengan jalan-jalan, pengen……. Ah, pengen bebas! Pengen keluar dari Padang ini, itu aja. Titik.

 Mam dan Dek.

Siang itu kita ke pasar, saya suka sekali momen saat diatas angkot bersama Mama. Saling membicarakan apa saja hingga ketawa cekikikan, sambil pegangan tangan tentunya. Bukan bermaksud romantis-romantisan, tapi karena angkot di Padang itu ngebut-ngebut dibandingkan angkot di kampung saya Kayutanam. Karena kami takut jadi korban Rem dadakan angkot hingga membuat kami bergeser tempat duduk sampai ke depan, jadi kami saling berpegangan tangan sepanjang perjalanan. Kadang mungkin sering membuat iri orang-orang yang melihat kami, tapi kami akan semakin erat pegangan tangannya dan menjadi tambah heboh ceritanya. Ya, dasar ibu-ibu dan calon ibu-ibu norak.

“Dek, besok hari minggu masak apa ya?” Mama sambil melihat keluar jendela sambil memikirkan sesuatu.
            “lagi pengen gado-gado ih Mam, udah lama ya Mama nggak bikin?”
            “iya yah.. boleh tu! Yaudah berarti nanti kita ke Da Ujang aja beli sayurannya”

Namanya juga hampir setiap hari mama ke pasar, jadi sudah hapal yang namanya orang jualan. Saya jadi penasaran Da Ujang seperti apa wajahnya.

“Papa kamu dari kemaren bilang pengen bakwan terus, kaya nya pas tuh di makan sama gado-gado besok!!”
“ih, mantap kaliiii…” tiba-tiba jadi melayu, dan kita sama-sama tertawa.

Sesampai di pasar, kita langsung menuju Da Ujang. Ternyata benar, diantara kedai sayuran lainnya di Pasar ini, kedai Da Ujanglah yang lebih lengkap dan tertata rapi. Pantesan mama suka belanja disini, selain itu Da Ujang juga lihai merangkai kata-kata lucu, sepanjang kita memilih sayuran Da Ujang tidak berhenti berbicara hingga kami semua tertawa mendengarnya. Ealah.. Da Ujang mengalihkan pandangan saya dari sayuran-sayuran ini.
           
            “Mam udah sering kesini ya? Da Ujang itu emang lucu gitu ya ma orangnya?”
“iya.., udah itu bisa murah juga kalau kita pintar-pintar nawar!” sambil memilih sayuran.
“oo gitu, pantesan rame terus ya Mam!”
“iya, makanya Mama langganan terus disini kalau beli sayuran”

Cerita ini bukan tentang Uda Ujang yang terkenal di Pasar, tapi cerita tentang Mama dan saya yang sudah punya panggilan masing-masing, menyatu seperti kakak dan adik. Wajah kita sih memang keliatan banget Ibu dan Anaknya, tapi gaya bicara kita dan topik pembicaraanya Global banget udah kaya sahabat yang lagi bahas ini itu.

Perjalanan pulang kita dari pasar kerumah, kebetulan angkotnya kosong, hanya kita berdua saja di dalamnya, dan satu orang lagi duduk di depan disamping supir. Jadi kami leluasa mau duduk seperti apa, dan mama mulai cerita enak.

            “Dek, ingat teman Mama yang cowok tinggalnya di gang Mawar itu nggak?”
            “hm… yang anaknya cewek seumuran Nola bukan Mam?”
“iyaa yang itu, tapi kamu diam-diam aja ya.. dia ada affair gitu sama teman Mama di Sekolah, kemaren kepergok sama Mama lagi jemput!” sambil bisik-bisik.

Ini salah satunya, pembicaraan kita bahkan kemana-mana. Ada situasi, ada tempat, maka akan ada cerita. Saya dan Mama sudah seperti sepasang sahabat yang nggak luput dari gossip tetangga, gossip teman lama, mantan pacar, hingga selebritis, kita akan bahas sampai habis. Itulah enaknya Mama, seperti seumuran gitu. Eitss, tapi kalau sudah marah ya beda lagi, baru seperti Ibu-ibu yang galak, bahkan lebih galak dibandingkan Papa marah. Parah.

            “waduh.. bukannya sudah punya istri ya Mam?”
“iya, terakhir Mama dengar ceritanya, istrinya lagi di Lombok ada Dinas, jadi ya tinggal sendiri!”
            “kesepian kaya nya ya Mam?”
“iyaa, makanya nanti kalau kamu sudah Nikah, printilin suami kamu kemana perginya yaa, jangan mau ditinggal, ngeriii..!”

Ngobrol sama Mama tuh enaknya leluasa, cepat dewasa, dan pembelajaran banget yang paling penting, walau agak sedikit vulgar. Mama selalu mengajarkan hal-hal yang tidak pernah diajarkan di Sekolah sekalipun disaat Kuliah kemaren. Mama memberikan pembelajaran hidup, jauh lebih bermanfaat buat saya nanti.

Dan saya nggak tau apa yang saya rasakan ini sama dengan anak perempuan lainnya diluar sana rasakan, ibu dan anak sudah seperti sepasang sahabat yang kemana-mana berdua. Mama buat saya cukup modern, senangnya dipanggil “mam”, dan selalu memanggil saya “adek”. Itulah kami. Walau agak sedikit lebay pembahasannya, atau ternyata diluar sana hal yang saya dan Mama rasakan adalah hal yang biasa, tapi ini buat saya tabu, itu wajar. Karena saya tergolong anak yang masih kolot dalam hal modernisasi. Yaa, maklumlah tinggalnya di kota kecil bukan di Ibu kota.


Pagi itu, jam 07.30.

Pukul 07.30 bangun, saya lanjut ke meja makan, mencari sarapan bakwan dan lontong sayur, atau kadang-kadang nasi goreng dan bubur kacang hijau. Tergantung saat itu mama belinya apa.

“mam, kita sarapan apa pagi ini?” saya sambil menyeka mata yang masih belum sempurna meleknya.
“mama belum masak dek, nggak sempat, buru-buru mau pergi soalnya, kamu bikin sendiri aja ya, di kulkas ada telur, di lemari ada mie, tinggal direbus” sambil sibuk dandan di depan cermin, dan mama nunjuk-nunjuk kearah kulkas dan lemari.
“hah.., mama mau pergi kemana pagi-pagi gini?” sambil bengong melihat mama dandan yang agak sedikit tebal pagi ini.
            “mau kerumahnya tante Rat ambil barang, semalam kan sudah datang!”
            “ooo…”
“nanti barang-barangnya mama kirimin kesini sama akung ya, kamu dirumah aja, jangan kemana-mana” (akung adalah ojek langganan kita sekeluarga)
“yaiyalah dirumah aja, mau kemana lagi emangnya ma? Nggak ada duittt” sambil manyun karena pengen banget ke Minang Plaza beli minuman bubble.

Mama saya selain Guru Sekolah memang punya bisnis kecil-kecilan, namanya juga penyambung hidup, mama bilang kalau mengandalkan gaji mama dan papa, kita tidak akan bisa beli rumah. Lumayan sih, belasan tahun Mama jualan baju Tanah Abang, bisa beli rumah yang kita tempati sekarang ini.

Balik lagi kepada jam 07.30 yang buat saya itu adalah masih pagi, sedangkan buat mama saya adalah kesiangan. Dan pertanyaannya sampai kapan saya terus bangun jam segitu? Kesiangan seperti yang mama selalu gadangkan akhir-akhir ini.

Kemaren, hari ini, dan besok sepertinya akan tetap masih sama. Bangun jam 07.30.  Entah seperti ada alarm sendiri di kepala saya, setiap jam 07.30 pagi saya langsung tersentak bangun dan keluar kamar gerasak-gerusuk tudung makanan.

Pagi ini menu sarapan saya adalah mie rebus. Tidak ada bakwan sebagai temannya, yaudahlah ya. Dinikmati saja yang ada. Untung masih bisa sarapan, kalau saya bangun-bangun Mama, Papa, dan bang Onal udah berangkat kerja semua, mau makan apa saya? Dan nangis-nangis diluar minta makan sama tetangga!

 Sebagai Gadih Minang yang belum sempurna, saya hanya bisa masak mie rebus alakadarnya. Panaskan air, masukkan mie, lalu selanjutnya masukkan telur dan bumbu-bumbu, selesai. Yap, sarapan pagi ini adalah mie rebus alakadar Nola. Nikmat sekali, bahkan wanginya sampai ke tetangga kali.

Setelah sarapan, pasti akan lanjut menonton tv. Karena pagi di televise menyuguhkan siaran-siaran penyemangat. Seperti senam, kartun, masak-masak, dan berita. Saya suka sekali pagi-pagi di depan tv, dan kebiasaan saya tidak pernah menetap pada satu siaran tv saja, setiap ada iklan selalu ganti chanel lainnya.

Ya, seperti itulah cerita pagi saya. Tidak berubah sudah dari beberapa minggu ini. Karena belum bekerja, jadi dinikmati malas-malas-ratu gini. Nanti kalau sudah dapat kerjaan, belum bisa ketemu sama sarapan mie rebus seperti ini. Yang ada sudah grasak-grusuk di depan komputer sama kerjaan karena telat. Hehehe…


Siti Nurbaya.

Pada suatu hari saya duduk di ruang tamu rumah nenek. Ada tiga generasi disana, saya, mama, dan nenek saya. Entah kenapa tiba-tiba mereka mempertanyakan siapa pacar saya saat ini! Dengan gamblangnya si mama membuka cerita,

“kamu sih orangnya nggak bisa dandan, jadinya nggak ada yang mau sama kamu!”
dan saya mati gaya dan hanya tersenyum terpaksa.
            “mama kok gitu sih ngomongnya?? Nyakitin!”
“ya kamuuu, nggak ngerti mama udah pengen nimang cucu!”
“yailahhh ma…”
“kalau nggak sama Gito aja, dia kan udah sukses, anaknya om Hen itu kan semuanya pada sukses-sukses!” pembicaraan mama sepertinya mulai nggak asyik.
“iya kebetulan cu, lebaran besok kan mereka kesini, kabarnya si Gito pulang dari Bandung”. Nenek menyambung ucapan mama, dan jadi tambah nggak asyik.

Dan habislah saya hari itu. Ternyata saya sedang dijadikan objek perjodohan dengan keluarga jauh. Gito memang teman dari kecil saya, saya kenal betul siapa dia dan keluarganya. Begitu juga saya kenal betul betapa nakalnya dia dulu saat kita masih kecil. Gito suka sekali menarik-narik rok saya kalau sedang jahilnya. Huft.. kenapa harus Gito sih ma? nek? Jadi ilfil duluan dengar namanya.

Ternyata, cerita keluarga Gito akan datang kerumah saat Lebaran besok berlanjut hingga ke keluarga besar saya. Termasuk Mak-adang, kakaknya mama.

“jadi padusi tu manuruik sajo apo kecek urang tuo” ( jadi perempuan itu menurut saja perkataan orang tua ) seru Mak adang.

Mak-adang memulai pembicaraan saat kami sekeluarga berkumpul di ruang makan saat buka puasa. Pas banget momennya untuk menjatuhkan saya menjadi tidak berkutik. Semua pada ngumpul disini. Ibuk, Anduang, Gaek (suami anduang), Mama, Papa, bang Onal, dan Mak adang dengan dua orang anaknya Deni dan Peni. 

Saya dan Mak adang tidak terlalu dekat, mungkin karena wajahnya yang sangar membuat saya agak takut. Dan parahnya, mama saya selalu meminta pendapat apapun dengan Mak adang, jadi apapaun permasalahan saya adalah tergantung dengan pendapat Mak adang. Habislah saya jika perjodohan itu benar-benar terjadi nanti. Akankan Gito orangnya yang akan menjadi suami saya nanti? Ah, masih belum sadar. Mau bangun dari mimpi buruk ini.

Iya memang benar, keluar dari kota padang memang keinginan saya dari dulu, perjodohan keluarga adalah harapan saya agar bisa keluar dari kota Padang ini, tapi sekian banyak anak teman mama atau papa, dan keluarga jauh lainnya diluar kota sana, kenapa harus Gito yang mereka jodohkan dengan saya coba?

Dan obrolan seru itu ternyata bersambung dari satu mulut ke mulut lainnya, tanpa mereka sadari bahwa disana ada saya yang tidak mereka perkenankan untuk menjawab sepatah katapun. Pembicaraan yang dimulai dari sebuah nama, anak siapa, kerjanya dimana, dari keluarga bagaimana, hingga merencanakan pertemuan singkat setelah Lebaran nanti, dan disana saya hanya boleh mendengarkannya saja, tidak berhak berkata-kata apalagi komentar, sedangkan yang dijodohkan itu adalah saya. Tapi saya sendiri hanya boleh diam.

Saya galau luar biasa saat memikirkan perjodohan itu, dan membayangkan Gito adalah suami saya nantinya. Hati saya separuh memberontak, kok rasanya takut yaa menikah dengan orang yang tidak saya suka sama sekali. Tapi separuh lagi saya lega karena ketika saya menikah dengan Gito, otomatis saya akan ikut pindah ke Bandung kan, ketempat dia tinggal. Dan akhirnya saya menang dapat meningglakan kota Padang ini juga. Tapi… ada yang mengganjal di hati ini. Sekali lagi kenapa harus Gito??

Mulai dari saat buka puasa, makan, mendengarkan mereka ngobrol, hingga pulang Tarawih, saya masih belum bisa tenang dengan percakapan mereka tadi. Perasaan campuraduk yang sedang saya rasakan ini belum menemukan titik terang. Apa yang akan saya lakukan dengan perjodohan keluarga besar ini nantinya?

Begitu takutnya saya memikirkan tentang perjodohan ini, padahal sebenarnya perjodohan itu adalah satu-satunya cara agar saya dapat merdeka dan keluar dari Kota ini. Memulai cita-cita saya yang sudah lama saya rencanakan, yaitu merantau. Agar saya bebas traveling, menulis dan merajut sekolah menjadi Sutradara. Jauh dari mama yang mendekap saya di dalam rumah. Tapi pertanyaan lain muncul, apakah dengan menikah bersama Gito, cita-cita saya akan terwujud? Jangan-jangan Gito sama kolotnya dengan mama yang mempunyai mindset seorang istri itu yaa di rumah saja!

Besoknya berlanjut, saat bangun sahur, kita berkumpul lagi di meja makan. Awalnya saya pikir bahasan semalam sudah selesai, ternyata enggak. Saya masih merem-melek karena masih mengantuk, tapi nenek enggak, dan beliau mesem-mesem kearah saya.

            “buk, kenapa? Ada taik ya dimata nola? Senyum-senyum gitu?”
            “enggak cu, ibuk bahagia aja sebentar lagi kamu menikah!”
            “ah ibuk, itu lagi itu lagi, udah ah, mau sahur dulu!”
            “ehemmmm…” bang Onal mulai merayu.

Dan saya pastikan sepertinya semua orang di rumah ini sudah 100 persen setuju dengan perjodohan yang dibahas semalam. Ah sudahlah, serahkan saja semuanya kepada yang diatas, saya pasrah kalau memang kenyataannya menjadi Siti Nurbaya.


Belajar Masak.

“Jadi gadih minang itu harus jago masak ya nak..”
            “iya ma, tapi pelan-pelan dulu aja ya, jangan langsung belajar masak rendang!”
            “oke…” mama menjawab dengan semangat sekali.

Dari beberapa hari kemarin memang mama sudah cerewet banget soal belajar masak. Katanya saya harus bisa masak enak. Bukan karena ingin buka warung Padang, tapi karena perempuan tuh harus bisa masak, ditambah dengan semua keluarga saya yang perempuan semua jago masak. Etek Yen jago bikin gulai ayam nanas, Anduang juara bikin gulai tauco untuk ketupat, yakin banget deh siapa yang makan ketupatnya anduang nggak cukup satu piring. Ibuk selain lihai meracik bumbu masak semur, dan masakan santan lainnya, juga lihai dalam menakar tepung, telur, dan vanili dalam membuat kue. Karena ibuk dulu sekolahnya SMK keterampilan. Jadi yang berbau merajut, menjahit, membuat kue, “belajar sama Ibuk aja sana”.

Selain keluarga saya jago masak, saya juga seorang perempuan yang nantinya akan kedapur-dapur juga. Jadi harus bisa masak, nggak mungkin banget kan kalau nanti sudah menikah, terus hari-harinya beli makanan terus, yang ada tekor. Walau sekaya apapun suaminya, emang uang cuma buat makan di Restoran aja? Ya enggaklah..

Mama senang sekali saat saya bilang “iya” waktu mama bilang “belajar masak yuk dek!”. Selama ini jatahnya saya memang cuma menolong mama saja, tapi untuk memasak full dari racikan tangan saya sendiri belum. Mungkin karena belum minat, atau dulu terlalu sibuk kuliah dan kesana-kemari, jadi nggak pernah memasak sama sekali. Nah jadi ada kesempatan kali ini, mama mengajak saya belajar masak, dan nggak bisa menghelak. Karena yang pertama, saya belum ada kerjaan, dan yang kedua sudah waktunya buat saya belajar memasak, jadi, baiklah ma…

hari itu hari Minggu, tepatnya jam 9 pagi. Sepulang dari pasar Lubuak Buaya saya dan mama mulai menata satu persatu bahan-bahan masakan yang akan dibuat. Pagi ini kita masak tahu tempe bacem. Ya, dimulai dari yang gampang dibuat dulu.

Diatas meja sudah ada tempe, tahu, bawang putih yang sudah digiling, dan bumbu-bumbu lainnya seperti ketumbar giling, lada bubuk, gula aren dan kayu manis.
           
“mama cuma ngomong aja ya, nggak ikutan!”
            “iya ma, tapi jangan marah-marah ya ajarinnya, pelan..pelan” kata saya santai.
            “hm… iya Insya Allah mama usahakan ya” mama jawab sambil ketawa.

Mama agak sedikit bawel tentang hari-hari, namanya juga ibu-ibu. Nah makanya saya agak khawatir nih kalau mama marah dan nggak berhenti ngomong saat saya belajar masaknya nggak semangat.

            “yang pertama potong dulu tahu dan tempenya”
            “oke..” sambil memotong tahu tempe dengan penuh penghayatan karena pelan sekali.
“setelah itu hidupkan kompor dan taruh wajan diatasnya!” layaknya bos, mama mengajari saya sambil tangan tegak di pinggang.
            “oke, kalau cuma hidupin kompor taruh wajan nggak usah diajarin ma..”
“masukkan sedikit air kedalam wajannya, lalu masukkan semua bumbu-bumbu halusnya, setelah itu aduk rata, nah baru kamu masukkan tahu dan tempenya, pastikan terendam semua biar bumbunya meresap!”
“iya siap ma!” saya mulai berkeringat, dan menyeka kening saya yang basah.
“nah kamu tutup wajannya biar cepat matang”
“nih udah ma.. terus?”
“tunggu lima menit, terus nanti kamu balik ya tahu tempenya biar matangnya rata!”
“oh gitu.. hehe, kirain udah gitu aja ditinggal terus masak sendiri!”
“heyyyy, masih panjang perjalanannya dek!”
“ooo.. kirain udah bisa nonton FTV, yah…” kecewa.
“hmm….” Mama mulai mengkerutkan wajahnya.
“iya ma, aku fokus iniii”
“wajannya harus sering diliat, kalau airnya sudah habis baru matikan kompornya!”
            “oke, terus diapain lagi ma kalau airnya udah kering?”
            “dinginkan dulu beberapa menit, baru deh di goreng!”

Sekilas gampang banget masak tahu tempe bacem itu, tapi kenyataannya lama banget sampai kurang lebih dua jam di dapur. Mana siang itu panas terik lagi. Untung mama moodnya lagi baik jadi nggak marah-marah mengajarinya. Tapi nggak tau deh resep berikutnya jadi mulai sangar.

Resep kedua mulai sulit, yaitu bikin asam padeh daging, gulai ayam, hingga semur telur kesukaan saya dan bang Onal. Makin hari, makin lama memasaknya, dan makin hari mama mulai keluar sifat aslinya. Dan saya dengan agak sedikit terpaksa, cuma bisa manyun dan diam saja saat mama mulai marah waktu saya memasukkan bumbu yang salah.

            “iya ma, kirain ini tuh bawang putih giling, eeh ternyata kunyit giling!”
            “kamu gimana sih, warnanya aja udah beda, jadinya kan pedes, beda rasanya”
            “iya, ma. Mungkin lagi khilaf aja..”
            “khilafnya sekali aja, besok nggak bisa lagi ya!”

Mama sudah memberi sinyal tanpa ampun nih buat saya. Besok jadi harus lebih hati-hati dengan yang namanya bumbu-bumbu. Latihan memasak itu ternyata tidak gampang, tidak semudah menonton acara TV “Resep Ok Rudy” yang resepnya 10 menit selesai. Ahh, semua perlu waktu, perlu banyak sabar, dan perlu kesadaran diri sendiri untuk serius dalam belajar masak. Apalagi kalau guru masaknya Mama sendiri yang sudah tau sifat aslinya. Mesti pintar-pintar cari akal biar Mama moodnya baik terus saat mengajarkan saya memasak.


 Pakai Hijab.

Berhijab itu wajib bagi perempuan, tidak ada tawar menawar soal itu. Ya, sebagai umat Islam, saya tau betul bahwa berhijab itu wajib hukumnya. Tapi, entah kenapa sulit sekali memulainya. Teman saya yang sudah lebih dulu berhijab selalu bertanya kepada saya “kapan”, dan tidak ada jawaban yang lebih baik daripada “menunggu hidayah”, dan teman saya berkata lagi, kalau menunggu hidayah, kamu nggak akan mulai-mulai “Hidayah itu dicari, bukan ditunggu”, lah, kok sama ya kalimatnya seperti jodoh?

Hari minggu di rumah adalah hari malas-malasannya kita sekeluarga kalau memang nggak ada kegiatan. Biasanya saat makan siang adalah momen yang paling dinantikan untuk mengobrol apa saja. Mulai dari gossip selebritis sampai yang paling serius membahas tentang politik yang lagi heboh saat itu. Nah sekarang bahasannya tentang saya yang mau berhijab dulu, bukan selebritis ataupun politik.

“ma, nanti nola pinjam hijab mama ya buat dicoba-coba!” sambil menyuap makanan ke mulut dan nyengir.
            “Alhamdulillahhhhhh…” saut bang Onal dari samping.
            “Alhamdulillah sayang” kata papa dari depan.
            “Alhamdulillah dek, iyaa pakai aja yang mana kamu suka!”
            “ihii..” saya senang.

Saya dapat tiga Alhamdulillah seketika, dalam hati saya juga lebih mengucapkan syukur dengan keinginan itu. Semoga berawal dari coba-coba ini, besoknya sudah mulai menutup kepala. Aamiin.

Karena kebetulan sekarang ini lagi trendnya berhijab, jadi saya coba-coba beberapa model hijab dari youtube yang banyak banget tutorialnya, mulai dari hijab yang panjang atau pashmina dan ada juga segi empat yang paling simpel. Alhamdulillah dikasih wajah yang mungil sama Allah, jadi mudah banget saat melilitkan hijabnya.

Dan pelan-pelan ada yang mengintip keseruan saya di depan cermin, bang Onal. Saya beruntung menjadi adiknya, dia selalu support apa yang adiknya lakukan, tidak pernah dalam kamusnya berkata “tidak” kepada adik satu-satunya ini. Dan dia mulai memberi komentar,

            “nah, gitu dong kan cantik. Yang segi empat kayanya lebih cocok deh!”
            “iyaa ya bang..” lebih nyaman sih, ketutup semua”
“iya, jangan seperti emak-emak yang abang liat di pasar, pakai hijab, rambutnya keliatan kemana-mana, baju ketat, celana ketat, hadeuhhhh…!”
“ih abang, perhatiin aja emak-emak di pasar!”
“yaiyalah, orang aneh gitu, sepanjang jalan juga banyak yang perhatiin, nah abang nggak mau ya kamu kaya gitu, jadi bahan perhatiannya orang-orang!”
“Insya Allah istiqhomah ya bang..”
“tapi kamu sudah mantap banget belum?”
“hm… nggak tau sih bang, kok belum pede aja rasanya!”
“karena belum biasa aja kali?’
“bisa jadi sih…”
“nanti lama-lama juga biasa kok! yang penting kamu tau itu wajib lho dek..”
“iya bang, nola tau. Tapiiiii….” Tiba-tiba memikirkan rambut yang abis di cat, sayang banget harus di tutup.
“tapiiiiiii apaaaaaaa?” abang ngeledek dengan kata yang lebih panjang.
“nggak tau nih bang, belum 100 persen aja hatinya”
“yaudah, abang juga nggak mau memaksa! itu kesadaran kamu sendiri, kalau abang paksa, nanti seminggu dua minggu kamu buka, yang ada malu sama teman-teman kan! Yang terbaik buat kamu aja ya.. abang dukung apapaun pilihan kamu” abang menasehati sambil mengusap-usap kepala saya dan pergi meninggalkan kamar.

Mungkin sedang ada setan di jiwa saya ini, saat sudah ketemu model hijab yang cocok dengan muka saya, tiba-tiba saya memikirkan baju yang lebih banyak lengan pendek. Dan sementara meminjam hijbnya mama dulu, dengan motif norak khas emak-emaknya, yang kalau saya pakai akan terlihat sudah tua. Ah, bagaimana ini? Kenapa niat saya menjadi surut kembali ya?

Berhijab itu memang harus dari hati, tapi dengan niat di hati yang naik-turun saya jadi ragu. Benar kata bang Onal, kalau saya pakai hijab sekarang terus tiba-tiba seminggu lagi dibuka, apa kata orang? Tapi, kalau bukan sekarang saya memulainya kapan lagi? Umur sudah kepala dua, sudah mau dewasa, tapi masih nggak malu kesana-kemari pakai kaos lengan pendek dan jeans. Dimana letak Gadih Minangnya ini?

Lama dengan pikiran gonta-ganti soal berhijab ini, tidak lama ada jawaban dari Allah. Disaat kamu ragu, Allah selalu memberi jawaban untukmu. Tiba-tiba mama datang memberikan saya hadiah beberapa hijab baru dengan warna-warna polos yang netral. Ya, inilah jawabanya. Saya tidak bisa mengelak lagi manakala pertanyaan “harus selalu pinjam hijab mama” itu sudah musnah. Sekarang saya sudah punya hijab sendiri, tentang baju lengan pendek masih bisa diakalin dengan kardigan. Pelan-pelan saja dulu, nanti ada duit sedikit mulai beli bajunya yang panjang-panjang. Semoga saya istiqhomah, aamiin.


Mari Bicara Tentang Cinta.

Saya orangnya pasif , apalagi dalam urusan cinta. Saat saya suka dengan laki-laki, saya hanya akan menatapnya saja dari jauh dan senyum-senyum sendiri membayangkan wajahnya juga menatap saya, tapi kenyataannya tidak. Setelah lama menunggu dia tak juga kunjung melihat kearah saya, jadinya down sendiri.

Saya tidak akan berani mendekatinya, karena dekat dengannya jantung saya akan berdetak kencang, lebih kencang daripada bunyi jarum jam dinding saat tengah malam. Maluuu banget kan kalau sampai dia dengar. Jadi, kalau saya suka sama seseorang, yaa saya cukup diam saja, tidak berkutik. Syukur-syukur kalau dia juga suka, kalau enggak yaudah.. apalagi sampai digebet cewek lain, saya cuma bisa bilang “yaudahlah, belum jodohnya kali”, Tapi hentak-hentak kasur di kamar.

Siang itu kita ada reunian kecil-kecilan di kampus. Karena ada Pameran Desain Grafis junior yang baru masuk. Nggak banyak sih para alumni yang datang, karena beberapa sudah merantau nasibnya di Ibukota, jadi yang sisa-sisa saja tinggal di Padang dan ikut memeriahkan Pameran adik-adik ini.

“eh nol, liat si Melvin nggak sih?” Dita yang tiba-tiba datang dari belakang saat saya sedang memperhatikan salah satu karya lukis yang bagus.
            “hmm.. enggak tuh, emangnya dia datang?”
            “katanya semalam sih iya.. lagi jemput pacarnya kali ya!”
            “pacar?” saya sedikit kaget dan langsung melihat kearah Dita.
            “iya.. lagi punya pacar baru nol, jadi jemput-jemputan dulu, hahaha..” Dita ketawa.
            “sama siapa?”
“denger-denger sih sama anak baru kuliah gitu, nggak tau tuh nemu dimana! Melvin.. Melvin..” sambil geleng-geleng.

Hah? Melvin sudah punya pacar? Tuh kan.. jadi galau deh. Saya pikir ke kampus hari ini buat senang-senang, ternyata pulang-pulang galau patah hati. Melvin adalah kasih tak sampai saya saat di kampus dulu, saya pikir dia adalah jodoh saya, tapi sampai Wisuda dia tak kunjung juga mengatakn cinta kepada saya. Ah, sudahlah. Fokus sama karyanya junior aja.

Saya sadar betul dengan kekurangan saya ini. Tidak berusaha menyampaikan apa yang saya rasakan. Padahal cewek-cewek lain sudah lebih modern dibandingkan saya. Dekatin, beliin coklat, dan sms-smsan, jadian deh. Tapi saya nggak akan berani seperti itu. Yang ada hanya nunduk-nunduk malu sama cowok yang disuka. Ih, dusun banget ya?

Saya memang tidak seaktif cewek masa kini yang dengan mudahnya mengatakan cinta, karena katanya sekarang ini zamannya emansipasi. Tapi tidak buat saya, karena dalam kepala saya cewek itu hanya boleh menunggu saja – mungkin maksudnya menunggu sampai Lebaran monyet kali yaa – jadi urusan katakan cinta itu hanya boleh laki-laki saja. Tapi kalau iya ada laki-laki yang suka? kalau tidak, ya itu berarti DL (Derita Loe).

Saya pernah menjadi orang lain untuk seseorang yang saya suka, jauhkan sifat saya yang aslinya,  dengan begitu saya berharap dia juga suka dengan saya, tapi ternyata hanya buang-buang waktu dan tenaga saja, dan saya merasa tersiksa sendiri. Ada yang datang, lalu tidak lama pergi lagi. Begitulah kisah cinta muda saya dulu. Dan kini saya tidak mau lagi seperti itu. Mungkin karena dulunya saya punya cita-cita untuk “dijodohkan” makanya saya tenang-tenang saja, tapi setelah tau yang dijodohkan itu ternyata Gito? Buru-buru punya pacar nih, biar yang di rumah dan di kampung nggak gentar lagi jodohin saya dengan anak nakal itu.

Tidak lama saya berkeliling mengitari karya-karya desain grafis dan lukisan di pameran ini, Dita datang lagi menghampiri.

“lu kenapa sih grasak grusuk sendiri dit?” Tanya saya sambil memperhatikan tingkahnya Dita yang nggak tenang.
            “iya nih, gue ada perlu sama Melvin soalnya, dia belum datang juga…”
            “perlu apa? bentar lagi kali.. sabar aja..”
“bukannya gitu nol, gue ada interview jam 10.00 ini, tapi buku Melvin yang gue pinjam sebulan yang lalu masih sama gue. Melvin mau bukunya dibawa sekarang, katanya perlu, tapi dia belum juga sampai, kan gue jadi galau!!”
            “telpon dulu deh mendingan.. tanya lagi dimana?”
            “nggak diangkat nol..”
            “nah, lagi di jalan berarti”
            “masa dari tadi masih di jalan, gue takut telat Interviewnya nih nol.. gimana dong!!!”

Perasaan saya mulai nggak enak, sepertinya hawa-hawa bahwa buku itu akan dititipkan dengan saya sudah tercium. Dan itu artinya, saya bakalan bertemu dengan Melvin dan pacar barunya. Oughhh… salah momen banget ke kampus hari ini.

“yaudah, terus gimana git? gue bisa bantu apa?” pasrah dengan jawaban Dita yang bikin mood jelek.
            “iya maaf tapi ya nol.. gue titip buku ini buat Melvin! Dan bilangin makasih”.

Kalau lihat wajah Dita yang memelas, jadi lupa sama hati.

            “yaudah dit, btw goodluck ya Interviewnya..”
            “makasih ya nol, kalau gue keterima, gue janji traktir lu di Haus Tea deh”.
            “ihaaa… beneran ya?” sambil melonjak.
            “iyaa benerrr”
“yaudah kalo gitu gue doain lu langsung keterima deh, jangan lupa kedip-kedip mata sama yang interviewnya ya biar lancar!” sambil ketawa.
            “ah parah lu, yaudah gue berangkat yaa, daa…”

Dita berlalu dengan buku Melvin ditangan. Dan selanjutnya persiapkan hati dengan lapang, biar nggak kaget-kaget banget saat lihat pacar barunya Melvin ternyata lebih cantik dari Luna Maya.

Sepertinya Melvin lagi kencan, satu jam lebih menunggu disini dia belum datang juga. Saya dan botol air minum ini duduk di Pendopo kampus sedang memperhatikan anak-anak baru masuk sedang malu-malu punya teman baru. Seteguk lagi habis nih minuman, tapi Melvin belum datang juga. Dalam hati ingin sekali sms dia, bilang kalau buku Fotografinya sama saya, dan saya mau pulang. Tapiiii, nomor Melvin kan udah saya hapus. Huft.. capek sendiri.

“nol..” terdengar suara dari jauh sedang memanggil saya, saya kenal banget sama suara itu. Masih kenal banget nadanya.
“melooo.. lama bangetttt” saya jawabnya kesal, karena double.. yang pertama karena lama nungguin, dan yang kedua karena Melvin sudah punya pacar baru.
“maph..maaph.. makan dulu tadi!” wajahnya hampir memutar balikkan otak saya, jangan sampai mencuri hati yang sudah hampir Move On ini.
“lu enak-enak makan, gue panas-panasan nungguin disini!”
“hahaha, udah lama ya? Dita udah dari tadi berangkatnya?
“iyaaaa…” masih jawab dengan kesal.
“nih gue beliin cappuccino cincau dong, kesukaan lu..”
“nah gituuu dongg.. beliin gue something!”
“buku gue dong..!”
“nih..” jawab sekenanya sambil menyerupu minuman kesukaan, masih ingat aja dia saya suka cappuccino cincau ini.
“iya makasih ya.. dan maaf sekali lagi nol jadi lama nunggunya..!”

Dan dari belakang Melvin sudah ada cewek yang sedang memanggil-manggil namanya, dengan wajah sedikit jutek karena kelamaan nunggu. Dalam hati, saya yakin banget bahwa cewek ini adalah orangnya. Sekilas mereview profil doi, sepertinya dia masih ABG banget, masih manyun-manyun manja, rambutnya panjang terurai berwarna coklat gold terpapar dari sinar Matahari. Dari jauh terlihat cantik sih, tapi agak sedikit kecil dari saya. Ah, semoga kalian bahagia. Dan saya pulang kerumah dengan sebuah lagu Afgan.


 Doktrin.

Bukan karena kebelet nikah, tapi memang lagi gilirannya saya sekarang ini. Mengingat umur yang sudah tidak muda lagi, dan wajah yang sudah mulai ada garis-garis tipis. Saat ini, ada tiga orang yang sedang memenuhi isi kepala saya, dan ketiganya sama-sama berusaha mendoktrin saya untuk berkata “Ya” saat di sodori pertanyaan untuk Menikah muda.

Yang pertama adalah ; teman lama saya, namanya Adit. Setelah menikah baru-baru ini, dia mendirikan Komunitas Indonesia Menikah yang tagline nya begini “ Pacaran, No! Menikah, Yess!”. Hampir setiap percakapannya, pembahasannya, dan pemikirannya tentang ayooo Menikah muda. Dan yang paling tidak bisa saya lupakan kata-katanya yang mengatakan bahwa “perempuan hanya akan tenang saat dia sudah menikah!”. Waduhh.. otak kanan saya langsung berdenyut kencang sinyalnya, seperti ingin buru-buru melangsungkannya saja.

Dan yang kedua adalah ; sahabat saya dari kecil.  Sebut saja namanya Otong. Kalau ditanyakan tentang kita, banyak sekali yang bisa dibicarakan mulai dari A sampai Z, tapi yang paling garis besar adalah tentang kebiasaan kita yang suka mengkhayal. Mulai dari merencanakan Menikah bersama-sama seperti di Film Bridewars, kalau sudah punya anak lalu dijodohkan, honeymoon romantis ala Edward Cullen, hingga nama anak pertama kita sudah ada di notebook masing-masing. Dan baru-baru ini dia memberikan kabar akan menikah tahun depan, yang artinya sebentar lagi. (oke, intinya buru-buru cari pacar biar bisa menikah di hari yang sama seperti khayalan kita dulu).

Lalu yang terakhir adalah ; kata-kata dari Anduang, seperti biasa, di ruang mankan akan selalu ada obrolan seru, saya dan Anduang tertangkap situasi yang membuat hati lirih.

            “nol, ibuk itu udah sakit-sakitan.. kamu tau?”
            “tau Nduang..”
            “jangan lama-lama yaa, kasian Ibuk udah pengen banget liat cucunya Nikah!”
            “iya Nduang, tapi..” menghela nafas panjang.
            “tapi apa?”
            “nola kan belum punya pacar, dan Gito itu, Nola nggak suka..”
“nola sayang, kamu tau Anduang dan Gaek itu dulu juga di jodohkan? Sekarang Alhamdulillah masih bersama.. nggak ada yang tau Jodoh itu baik atau tidaknya sebelum kita menjalaninya kan..”
“iya Nduang, jadi intinya Nola dijodohkan dengan Gito??”
“Anduang bukannya bermaksud untuk memaksa, tapi kan kamu tau kita semua disini ingin yang terbaik buat kamu”
“jadi Gito itu yang terbaik?” saya pasrah dengan jawaban-jawaban Anduang yang sepertinya tidak akan bisa dipatahkan lagi tentang perjodohan itu.
“paling tidak, kita tau keluarganya, kita kenal keluarganya!”
“iya Anduang, Nola terserah saja, kalau memang itu yang terbaik, nola akan ikuti”

Dan dengan sendirinya, mimpi-mimpi itu sudah tersusun sendiri. Saya sudah pasrah dari awal ketika saya ditakdirkan menjadi pewaris tunggal harta keluarga besar ini. Saya sudah pasrah, manakala cita-cita itu hanya tinggal cita-cita. Ya, nola hanya akan berakhir menjadi Siti Nurbaya yang tak ubahnya dengan Gadih Minang yang lainnya.

Dan doktrin yang terakhir ini membuat saya sangat shock dan terkulai lemas diatas kasur, hampir sulit bernafas karena sesak di dada. Ingin menangis rasanya, tapi tak bisa. Kata-kata anduang begitu berat untuk saya.


Sudah habis dari separuh isi di kepala ini memikirkan tentang menikah secepatnya. Kalau kemarin saya bingung siapa calonnya, sekarang sudah ada jawabannya. tidak ada lagi cerita cinta berikutnya, yang ada hanya cinta yang sudah ada, semoga saja saya bahagia nantinya. Dan semoga jalan ini adalah jalan Allah untuk saya mulai merajut cita-cita saya yang dulu sempat terhenti karena harus tetap tinggal di Padang.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS