Pages

Ngobrol Di Damri.

Rabu, 13 Juli 2016



Istirahatnya udah cukup lama dari sakit yang waktu itu. Alhamdulillah si darah kotor keluar juga, ihii.. dan persiapan pernikahan sudah mulai beres satu persatu.

Lebaran tiba, dan saya harus pulang ke Padang untuk menyiapkan surat-surat KUA dan cek ini itu biar acaranya berjalan lancar. Walau sebenarnya bisa dari telepon atau whatsapp aja sih, tapi yaa gitudeh namanya perempuan rempong yaa..

Seminggu lebih di kampung halaman dan perbaikan gizi alias semua apa di makan, akhirnya balik lagi ke Jakarta, ke rutinitas yang “ouhhh”. Saya berangkat malam, dan cuaca saat itu kurang bagus, semoga nggak terlalu goyang parah di dalam Pesawat. Sepanjang perjalanan saya hanya mendengarkan musik sambil mencoba tidur, walau bentar-bentar bangun tapi ya lumayanlah. Hingga Pesawat mendarat dengan mulus dan tibalah di Bandara Soeta.

Pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, pelukan si mama saat pamit tadi masih terasa, dan tiba-tiba malas kembali ke rutinitas kerja, maunya dekat-dekat orang tua terus, biar cuma ngurusin sawah aja kalau di kampung. Hushh.. hasrat sesaat saja memang.

Jam 23. 30 saya baru dapat Damri jurusan Lebak Bulus, kurang lebih setengah jam nunggu akhirnya tiba juga sang jurusan. Saya duduk paling depan, pas banget di belakang supir. Di sebelah saya seorang cowok. Sebut saja “Mawir”. Karena saya lupa menanyakan namanya.

“mau kemana mba?” mawir mulai bertanya.

“Pamulang mas”.

“ouh.. jauh ya?sendirian?”

“hmm, enggak juga. Iya!”

Percakapan basa-basi ala cowok ini udah biasa di dengar. Awalnya saya nggak mau ngobrol, karena mau istirahat di Damri, tapi si Mawir sepertinya abis minum kopi, jadi matanya melek dan pengen di temenin ngobrol. Yaa jadinya saya terpaksa jawab-jawab sekenanya.

Mawir ternyata seorang duda, asli Pekanbaru, berumur 34 tahun, punya anak perempuan satu, istrinya dulu orang Sunda, dan calon istri sekarang orang Padang, bekerja di Jakarta selatan, dan bercerita tentang perceraiannya. Entah apa, tiba-tiba cowok satu ini bikin saya ngobrol asyik selama perjalanan hingga saya lupa kalau lagi ngantuk dan ikutan curhat. Cerita Mawir cukup menarik, dan pengalaman baru buat saya. Sempat greget waktu dia bilang Padang dan Sunda itu nggak cocok, di saat-saat tinggal menghitung hari ke pelaminan, si Mawir nakut-nakutin begitu minta ditimpuk. Hingga dia bercerita banyak dan akhirnya kita sama-sama bertukar pikiran bahwa Jodoh nggak bisa dilihat dari perbedaan suku, kebiasaan, dan apalah itu. Yang penting adalah bagaimananya pribadi masing-masing pasangan harus saling melengkapi dan menutupi kekurangan, bukan mencari kesempurnaan.

Mawir adalah teman tak terduga yang menyenangkan. Walau hanya 1 jam perjalanan, kita sama-sama berbagi ilmu. Walau ilmu Padang saya belum hebat, yaa cukuplah buat referensi buat calon istri barunya sekarang. Dan semoga kita dapat bertemu di lain kesempatan dan lebih beruntung, aamiin.
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS