Tentang Saya
Perkenalkan
saya Nola, anak bungsu dari dua bersaudara. Dan cucu perempuan satu-satunya di
keluarga. Karena Ibuk (saya memanggil Nenek saya dengan sebutan Ibuk karena
sejak kecil sering ikut-ikutan Mama memanggil “Ibuk”) cuma punya anak tunggal
yaitu mama saya, yaiyalah saya jadi cucu perempuan satu-satunya, dan Bang Onal,
abang saya juga jadi cucu laki-laki satu-satunya.
Nenek
saya enam bersaudara, tiga laki-laki dan tiga lagi perempuan. Kalau di Minang,
harta itu akan jatuh pada pihak perempuan, karena garis keturunannya adalah
Matrilineal. Jadi harta keluarga besar Nenek saya itu akan jatuh kepada tiga
saudaranya. Ibuk, Amak, dan Anduang. Saya menyebut ketiga nenek saya seperti
itu.
Ibuk
yang paling tua, punya anak satu cuma Mama saya. Yang kedua yaitu Amak punya
tiga orang anak, dan laki-laki semua. Dan yang ketiga Anduang, sayangnya
Anduang tidak diberikan rejeki keturunan oleh Allah swt, jadi garis keturunan
akhirnya jatuh kepada saya. Banyak yang berkata kalau saya beruntung dengan
keadaan seperti ini, padahal di dalam hati ini merenungkan nasib saya yang akan
menjadi penjaga rumah saja mengurusi semuanya.
Menjadi
Gadih Minang itu sebenarnya bukan pilihan saya, dimana seorang perempuan harus
menunggu rumah saja, menanti suami pulang dan mengurusi anak-anak nantinya
kelak sudah menikah! Oh tidak, itu bukan gaya saya dan jauh dari cita-cita saya,
tapi apa jadinya kalau saya tidak terlahir dari rahim Mama yang bukan keturunan
Minang? melainkan dari rahim ibu lain yang tinggalnya di Timor Leste atau
Papua? Hah? Cuma bisa bengong dan membayangkan Mama bukan Mama saya?
“tidak..tidak...”.
Gadih
Minang itu harus penurut, diam dirumah, dipilihkan jodohnya, dan masih banyak
lagi yang berkaitan dengan yang lurus-lurus saja, sedangkan diluar sana
perempuan sudah banyak yang lebih maju, sudah adapula yang jadi Presiden. Tapi
kenapa Gadih Minang disini hanya boleh menunggu rumah saja? Seharusnya keluarga
saya diberi ceramah politik nih, agar cucu perempuannya ini bisa jadi pemimpin
juga. Eh, Aamiin.
Hidup
itu memang komplit, membingungkan, dan kadang entahlah. Saya tidak tau jalan
apa yang sedang saya jalani saat ini? Seperti sudah dagarisi takdirnya untuk
menjadi penjaga rumah saja. Semenjak resmi menyandang Sarjana sebulan yang
lalu, saya juga resmi bekerja menjadi seorang “pengacara” yaitu pengangguran
banyak acara, yang kerjaannya mengukur panjangnya rumah setiap hari karena
mondar-mandir terus, dan sesekali menjadi perempuan stress di depan TV yang
sebentar ketawa dan sebenetar nangis saat nonton FTV.
Mau
cari kerja susah, punya pacar belum, uang nggak ada, dirumah bosan, keluar
nggak ada teman, diomelin Mama terus, nggak bisa masak, berjerawat, pengen ke
Jakarta, pengen merantau, pengan jalan-jalan, pengen……. Ah, pengen bebas!
Pengen keluar dari Padang ini, itu aja. Titik.
Mam dan Dek.
Siang
itu kita ke pasar, saya suka sekali momen saat diatas angkot bersama Mama.
Saling membicarakan apa saja hingga ketawa cekikikan, sambil pegangan tangan
tentunya. Bukan bermaksud romantis-romantisan, tapi karena angkot di Padang itu
ngebut-ngebut dibandingkan angkot di kampung saya Kayutanam. Karena kami takut
jadi korban Rem dadakan angkot hingga membuat kami bergeser tempat duduk sampai
ke depan, jadi kami saling berpegangan tangan sepanjang perjalanan. Kadang
mungkin sering membuat iri orang-orang yang melihat kami, tapi kami akan
semakin erat pegangan tangannya dan menjadi tambah heboh ceritanya. Ya, dasar ibu-ibu
dan calon ibu-ibu norak.
“Dek, besok hari minggu masak apa
ya?” Mama sambil melihat keluar jendela sambil memikirkan sesuatu.
“lagi pengen gado-gado ih Mam, udah
lama ya Mama nggak bikin?”
“iya yah.. boleh tu! Yaudah berarti
nanti kita ke Da Ujang aja beli sayurannya”
Namanya
juga hampir setiap hari mama ke pasar, jadi sudah hapal yang namanya orang
jualan. Saya jadi penasaran Da Ujang seperti apa wajahnya.
“Papa kamu dari kemaren bilang
pengen bakwan terus, kaya nya pas tuh di makan sama gado-gado besok!!”
“ih, mantap kaliiii…” tiba-tiba jadi
melayu, dan kita sama-sama tertawa.
Sesampai
di pasar, kita langsung menuju Da Ujang. Ternyata benar, diantara kedai sayuran
lainnya di Pasar ini, kedai Da Ujanglah yang lebih lengkap dan tertata rapi.
Pantesan mama suka belanja disini, selain itu Da Ujang juga lihai merangkai
kata-kata lucu, sepanjang kita memilih sayuran Da Ujang tidak berhenti
berbicara hingga kami semua tertawa mendengarnya. Ealah.. Da Ujang mengalihkan
pandangan saya dari sayuran-sayuran ini.
“Mam udah sering kesini ya? Da Ujang
itu emang lucu gitu ya ma orangnya?”
“iya.., udah itu bisa murah juga
kalau kita pintar-pintar nawar!” sambil memilih sayuran.
“oo gitu, pantesan rame terus ya Mam!”
“iya, makanya Mama langganan terus
disini kalau beli sayuran”
Cerita
ini bukan tentang Uda Ujang yang terkenal di Pasar, tapi cerita tentang Mama
dan saya yang sudah punya panggilan masing-masing, menyatu seperti kakak dan
adik. Wajah kita sih memang keliatan banget Ibu dan Anaknya, tapi gaya bicara kita
dan topik pembicaraanya Global banget udah kaya sahabat yang lagi bahas ini itu.
Perjalanan
pulang kita dari pasar kerumah, kebetulan angkotnya kosong, hanya kita berdua
saja di dalamnya, dan satu orang lagi duduk di depan disamping supir. Jadi kami
leluasa mau duduk seperti apa, dan mama mulai cerita enak.
“Dek, ingat teman Mama yang cowok tinggalnya
di gang Mawar itu nggak?”
“hm… yang anaknya cewek seumuran
Nola bukan Mam?”
“iyaa yang itu, tapi kamu diam-diam
aja ya.. dia ada affair gitu sama
teman Mama di Sekolah, kemaren kepergok sama Mama lagi jemput!” sambil
bisik-bisik.
Ini
salah satunya, pembicaraan kita bahkan kemana-mana. Ada situasi, ada tempat,
maka akan ada cerita. Saya dan Mama sudah seperti sepasang sahabat yang nggak
luput dari gossip tetangga, gossip teman lama, mantan pacar, hingga selebritis,
kita akan bahas sampai habis. Itulah enaknya Mama, seperti seumuran gitu.
Eitss, tapi kalau sudah marah ya beda lagi, baru seperti Ibu-ibu yang galak, bahkan
lebih galak dibandingkan Papa marah. Parah.
“waduh.. bukannya sudah punya istri
ya Mam?”
“iya, terakhir Mama dengar ceritanya,
istrinya lagi di Lombok ada Dinas, jadi ya tinggal sendiri!”
“kesepian kaya nya ya Mam?”
“iyaa, makanya nanti kalau kamu
sudah Nikah, printilin suami kamu kemana perginya yaa, jangan mau ditinggal,
ngeriii..!”
Ngobrol
sama Mama tuh enaknya leluasa, cepat dewasa, dan pembelajaran banget yang
paling penting, walau agak sedikit vulgar. Mama selalu mengajarkan hal-hal yang
tidak pernah diajarkan di Sekolah sekalipun disaat Kuliah kemaren. Mama
memberikan pembelajaran hidup, jauh lebih bermanfaat buat saya nanti.
Dan
saya nggak tau apa yang saya rasakan ini sama dengan anak perempuan lainnya
diluar sana rasakan, ibu dan anak sudah seperti sepasang sahabat yang
kemana-mana berdua. Mama buat saya cukup modern, senangnya dipanggil “mam”, dan
selalu memanggil saya “adek”. Itulah kami. Walau agak sedikit lebay
pembahasannya, atau ternyata diluar sana hal yang saya dan Mama rasakan adalah
hal yang biasa, tapi ini buat saya tabu, itu wajar. Karena saya tergolong anak
yang masih kolot dalam hal modernisasi. Yaa, maklumlah tinggalnya di kota kecil
bukan di Ibu kota.
Pagi itu, jam 07.30.
Pukul
07.30 bangun, saya lanjut ke meja makan, mencari sarapan bakwan dan lontong
sayur, atau kadang-kadang nasi goreng dan bubur kacang hijau. Tergantung saat
itu mama belinya apa.
“mam, kita sarapan apa pagi ini?”
saya sambil menyeka mata yang masih belum sempurna meleknya.
“mama belum masak dek, nggak sempat,
buru-buru mau pergi soalnya, kamu bikin sendiri aja ya, di kulkas ada telur, di
lemari ada mie, tinggal direbus” sambil sibuk dandan di depan cermin, dan mama
nunjuk-nunjuk kearah kulkas dan lemari.
“hah.., mama mau pergi kemana
pagi-pagi gini?” sambil bengong melihat mama dandan yang agak sedikit tebal
pagi ini.
“mau kerumahnya tante Rat ambil
barang, semalam kan sudah datang!”
“ooo…”
“nanti barang-barangnya mama kirimin
kesini sama akung ya, kamu dirumah aja, jangan kemana-mana” (akung adalah ojek
langganan kita sekeluarga)
“yaiyalah dirumah aja, mau kemana
lagi emangnya ma? Nggak ada duittt” sambil manyun karena pengen banget ke
Minang Plaza beli minuman bubble.
Mama
saya selain Guru Sekolah memang punya bisnis kecil-kecilan, namanya juga
penyambung hidup, mama bilang kalau mengandalkan gaji mama dan papa, kita tidak
akan bisa beli rumah. Lumayan sih, belasan tahun Mama jualan baju Tanah Abang,
bisa beli rumah yang kita tempati sekarang ini.
Balik
lagi kepada jam 07.30 yang buat saya itu adalah masih pagi, sedangkan buat mama
saya adalah kesiangan. Dan pertanyaannya sampai kapan saya terus bangun jam
segitu? Kesiangan seperti yang mama selalu gadangkan akhir-akhir ini.
Kemaren,
hari ini, dan besok sepertinya akan tetap masih sama. Bangun jam 07.30. Entah seperti ada alarm sendiri di kepala
saya, setiap jam 07.30 pagi saya langsung tersentak bangun dan keluar kamar
gerasak-gerusuk tudung makanan.
Pagi
ini menu sarapan saya adalah mie rebus. Tidak ada bakwan sebagai temannya,
yaudahlah ya. Dinikmati saja yang ada. Untung masih bisa sarapan, kalau saya
bangun-bangun Mama, Papa, dan bang Onal udah berangkat kerja semua, mau makan
apa saya? Dan nangis-nangis diluar minta makan sama tetangga!
Sebagai Gadih Minang yang belum sempurna, saya
hanya bisa masak mie rebus alakadarnya. Panaskan air, masukkan mie, lalu
selanjutnya masukkan telur dan bumbu-bumbu, selesai. Yap, sarapan pagi ini
adalah mie rebus alakadar Nola. Nikmat sekali, bahkan wanginya sampai ke
tetangga kali.
Setelah
sarapan, pasti akan lanjut menonton tv. Karena pagi di televise menyuguhkan
siaran-siaran penyemangat. Seperti senam, kartun, masak-masak, dan berita. Saya
suka sekali pagi-pagi di depan tv, dan kebiasaan saya tidak pernah menetap pada
satu siaran tv saja, setiap ada iklan selalu ganti chanel lainnya.
Ya,
seperti itulah cerita pagi saya. Tidak berubah sudah dari beberapa minggu ini.
Karena belum bekerja, jadi dinikmati malas-malas-ratu gini. Nanti kalau sudah
dapat kerjaan, belum bisa ketemu sama sarapan mie rebus seperti ini. Yang ada
sudah grasak-grusuk di depan komputer sama kerjaan karena telat. Hehehe…
Siti Nurbaya.
Pada
suatu hari saya duduk di ruang tamu rumah nenek. Ada tiga generasi disana,
saya, mama, dan nenek saya. Entah kenapa tiba-tiba mereka mempertanyakan siapa
pacar saya saat ini! Dengan gamblangnya si mama membuka cerita,
“kamu sih orangnya nggak bisa dandan, jadinya nggak ada yang
mau sama kamu!”
dan saya mati gaya dan hanya tersenyum terpaksa.
“mama kok gitu sih ngomongnya??
Nyakitin!”
“ya kamuuu, nggak ngerti mama udah pengen nimang cucu!”
“yailahhh ma…”
“kalau nggak sama Gito aja, dia kan udah
sukses, anaknya om Hen itu kan semuanya pada sukses-sukses!” pembicaraan mama
sepertinya mulai nggak asyik.
“iya
kebetulan cu, lebaran besok kan mereka kesini, kabarnya si Gito pulang dari
Bandung”. Nenek menyambung ucapan mama, dan jadi tambah nggak asyik.
Dan
habislah saya hari itu. Ternyata saya sedang dijadikan objek perjodohan dengan
keluarga jauh. Gito memang teman dari kecil saya, saya kenal betul siapa dia
dan keluarganya. Begitu juga saya kenal betul betapa nakalnya dia dulu saat
kita masih kecil. Gito suka sekali menarik-narik rok saya kalau sedang jahilnya.
Huft.. kenapa harus Gito sih ma? nek? Jadi ilfil duluan dengar namanya.
Ternyata,
cerita keluarga Gito akan datang kerumah saat Lebaran besok berlanjut hingga ke
keluarga besar saya. Termasuk Mak-adang, kakaknya mama.
“jadi padusi tu manuruik sajo apo
kecek urang tuo” ( jadi perempuan itu menurut saja perkataan orang tua ) seru
Mak adang.
Mak-adang
memulai pembicaraan saat kami sekeluarga berkumpul di ruang makan saat buka
puasa. Pas banget momennya untuk menjatuhkan saya menjadi tidak berkutik. Semua
pada ngumpul disini. Ibuk, Anduang, Gaek (suami anduang), Mama, Papa, bang
Onal, dan Mak adang dengan dua orang anaknya Deni dan Peni.
Saya
dan Mak adang tidak terlalu dekat, mungkin karena wajahnya yang sangar membuat
saya agak takut. Dan parahnya, mama saya selalu meminta pendapat apapun dengan
Mak adang, jadi apapaun permasalahan saya adalah tergantung dengan pendapat Mak
adang. Habislah saya jika perjodohan itu benar-benar terjadi nanti. Akankan
Gito orangnya yang akan menjadi suami saya nanti? Ah, masih belum sadar. Mau
bangun dari mimpi buruk ini.
Iya
memang benar, keluar dari kota padang memang keinginan saya dari dulu,
perjodohan keluarga adalah harapan saya agar bisa keluar dari kota Padang ini,
tapi sekian banyak anak teman mama atau papa, dan keluarga jauh lainnya diluar
kota sana, kenapa harus Gito yang mereka jodohkan dengan saya coba?
Dan
obrolan seru itu ternyata bersambung dari satu mulut ke mulut lainnya, tanpa
mereka sadari bahwa disana ada saya yang tidak mereka perkenankan untuk
menjawab sepatah katapun. Pembicaraan yang dimulai dari sebuah nama, anak
siapa, kerjanya dimana, dari keluarga bagaimana, hingga merencanakan pertemuan singkat
setelah Lebaran nanti, dan disana saya hanya boleh mendengarkannya saja, tidak
berhak berkata-kata apalagi komentar, sedangkan yang dijodohkan itu adalah
saya. Tapi saya sendiri hanya boleh diam.
Saya
galau luar biasa saat memikirkan perjodohan itu, dan membayangkan Gito adalah
suami saya nantinya. Hati saya separuh memberontak, kok rasanya takut yaa
menikah dengan orang yang tidak saya suka sama sekali. Tapi separuh lagi saya
lega karena ketika saya menikah dengan Gito, otomatis saya akan ikut pindah ke
Bandung kan, ketempat dia tinggal. Dan akhirnya saya menang dapat meningglakan
kota Padang ini juga. Tapi… ada yang mengganjal di hati ini. Sekali lagi kenapa
harus Gito??
Mulai
dari saat buka puasa, makan, mendengarkan mereka ngobrol, hingga pulang
Tarawih, saya masih belum bisa tenang dengan percakapan mereka tadi. Perasaan
campuraduk yang sedang saya rasakan ini belum menemukan titik terang. Apa yang
akan saya lakukan dengan perjodohan keluarga besar ini nantinya?
Begitu
takutnya saya memikirkan tentang perjodohan ini, padahal sebenarnya perjodohan
itu adalah satu-satunya cara agar saya dapat merdeka dan keluar dari Kota ini.
Memulai cita-cita saya yang sudah lama saya rencanakan, yaitu merantau. Agar
saya bebas traveling, menulis dan merajut
sekolah menjadi Sutradara. Jauh dari mama yang mendekap saya di dalam rumah.
Tapi pertanyaan lain muncul, apakah dengan menikah bersama Gito, cita-cita saya
akan terwujud? Jangan-jangan Gito sama kolotnya dengan mama yang mempunyai mindset seorang istri itu yaa di rumah
saja!
Besoknya
berlanjut, saat bangun sahur, kita berkumpul lagi di meja makan. Awalnya saya pikir
bahasan semalam sudah selesai, ternyata enggak. Saya masih merem-melek karena
masih mengantuk, tapi nenek enggak, dan beliau mesem-mesem kearah saya.
“buk, kenapa? Ada taik ya dimata
nola? Senyum-senyum gitu?”
“enggak cu, ibuk bahagia aja
sebentar lagi kamu menikah!”
“ah ibuk, itu lagi itu lagi, udah
ah, mau sahur dulu!”
“ehemmmm…” bang Onal mulai merayu.
Dan
saya pastikan sepertinya semua orang di rumah ini sudah 100 persen setuju
dengan perjodohan yang dibahas semalam. Ah sudahlah, serahkan saja semuanya
kepada yang diatas, saya pasrah kalau memang kenyataannya menjadi Siti Nurbaya.
Belajar Masak.
“Jadi gadih minang itu harus jago masak ya nak..”
“iya ma, tapi pelan-pelan dulu aja
ya, jangan langsung belajar masak rendang!”
“oke…” mama menjawab dengan semangat
sekali.
Dari
beberapa hari kemarin memang mama sudah cerewet banget soal belajar masak.
Katanya saya harus bisa masak enak. Bukan karena ingin buka warung Padang, tapi
karena perempuan tuh harus bisa masak, ditambah dengan semua keluarga saya yang
perempuan semua jago masak. Etek Yen jago bikin gulai ayam nanas, Anduang juara
bikin gulai tauco untuk ketupat, yakin banget deh siapa yang makan ketupatnya
anduang nggak cukup satu piring. Ibuk selain lihai meracik bumbu masak semur,
dan masakan santan lainnya, juga lihai dalam menakar tepung, telur, dan vanili
dalam membuat kue. Karena ibuk dulu sekolahnya SMK keterampilan. Jadi yang
berbau merajut, menjahit, membuat kue, “belajar sama Ibuk aja sana”.
Selain
keluarga saya jago masak, saya juga seorang perempuan yang nantinya akan kedapur-dapur
juga. Jadi harus bisa masak, nggak mungkin banget kan kalau nanti sudah
menikah, terus hari-harinya beli makanan terus, yang ada tekor. Walau sekaya
apapun suaminya, emang uang cuma buat makan di Restoran aja? Ya enggaklah..
Mama
senang sekali saat saya bilang “iya” waktu mama bilang “belajar masak yuk dek!”.
Selama ini jatahnya saya memang cuma menolong mama saja, tapi untuk memasak
full dari racikan tangan saya sendiri belum. Mungkin karena belum minat, atau dulu
terlalu sibuk kuliah dan kesana-kemari, jadi nggak pernah memasak sama sekali.
Nah jadi ada kesempatan kali ini, mama mengajak saya belajar masak, dan nggak
bisa menghelak. Karena yang pertama, saya belum ada kerjaan, dan yang kedua
sudah waktunya buat saya belajar memasak, jadi, baiklah ma…
hari
itu hari Minggu, tepatnya jam 9 pagi. Sepulang dari pasar Lubuak Buaya saya dan
mama mulai menata satu persatu bahan-bahan masakan yang akan dibuat. Pagi ini
kita masak tahu tempe bacem. Ya, dimulai dari yang gampang dibuat dulu.
Diatas
meja sudah ada tempe, tahu, bawang putih yang sudah digiling, dan bumbu-bumbu
lainnya seperti ketumbar giling, lada bubuk, gula aren dan kayu manis.
“mama cuma ngomong aja ya, nggak ikutan!”
“iya ma, tapi jangan marah-marah ya
ajarinnya, pelan..pelan” kata saya santai.
“hm… iya Insya Allah mama usahakan
ya” mama jawab sambil ketawa.
Mama
agak sedikit bawel tentang hari-hari, namanya juga ibu-ibu. Nah makanya saya
agak khawatir nih kalau mama marah dan nggak berhenti ngomong saat saya belajar
masaknya nggak semangat.
“yang pertama potong dulu tahu dan
tempenya”
“oke..” sambil memotong tahu tempe
dengan penuh penghayatan karena pelan sekali.
“setelah itu hidupkan kompor dan
taruh wajan diatasnya!” layaknya bos, mama mengajari saya sambil tangan tegak
di pinggang.
“oke, kalau cuma hidupin kompor
taruh wajan nggak usah diajarin ma..”
“masukkan sedikit air kedalam
wajannya, lalu masukkan semua bumbu-bumbu halusnya, setelah itu aduk rata, nah
baru kamu masukkan tahu dan tempenya, pastikan terendam semua biar bumbunya
meresap!”
“iya siap ma!” saya mulai
berkeringat, dan menyeka kening saya yang basah.
“nah kamu tutup wajannya biar cepat
matang”
“nih udah ma.. terus?”
“tunggu lima menit, terus nanti kamu
balik ya tahu tempenya biar matangnya rata!”
“oh gitu.. hehe, kirain udah gitu
aja ditinggal terus masak sendiri!”
“heyyyy, masih panjang perjalanannya
dek!”
“ooo.. kirain udah bisa nonton FTV,
yah…” kecewa.
“hmm….” Mama mulai mengkerutkan
wajahnya.
“iya ma, aku fokus iniii”
“wajannya harus sering diliat, kalau
airnya sudah habis baru matikan kompornya!”
“oke, terus diapain lagi ma kalau
airnya udah kering?”
“dinginkan dulu beberapa menit, baru
deh di goreng!”
Sekilas
gampang banget masak tahu tempe bacem itu, tapi kenyataannya lama banget sampai
kurang lebih dua jam di dapur. Mana siang itu panas terik lagi. Untung mama
moodnya lagi baik jadi nggak marah-marah mengajarinya. Tapi nggak tau deh resep
berikutnya jadi mulai sangar.
Resep
kedua mulai sulit, yaitu bikin asam padeh daging, gulai ayam, hingga semur
telur kesukaan saya dan bang Onal. Makin hari, makin lama memasaknya, dan makin
hari mama mulai keluar sifat aslinya. Dan saya dengan agak sedikit terpaksa, cuma
bisa manyun dan diam saja saat mama mulai marah waktu saya memasukkan bumbu
yang salah.
“iya ma, kirain ini tuh bawang putih
giling, eeh ternyata kunyit giling!”
“kamu gimana sih, warnanya aja udah
beda, jadinya kan pedes, beda rasanya”
“iya, ma. Mungkin lagi khilaf aja..”
“khilafnya sekali aja, besok nggak
bisa lagi ya!”
Mama
sudah memberi sinyal tanpa ampun nih buat saya. Besok jadi harus lebih
hati-hati dengan yang namanya bumbu-bumbu. Latihan memasak itu ternyata tidak
gampang, tidak semudah menonton acara TV “Resep Ok Rudy” yang resepnya 10 menit
selesai. Ahh, semua perlu waktu, perlu banyak sabar, dan perlu kesadaran diri
sendiri untuk serius dalam belajar masak. Apalagi kalau guru masaknya Mama
sendiri yang sudah tau sifat aslinya. Mesti pintar-pintar cari akal biar Mama
moodnya baik terus saat mengajarkan saya memasak.
Pakai Hijab.
Berhijab
itu wajib bagi perempuan, tidak ada tawar menawar soal itu. Ya, sebagai umat Islam,
saya tau betul bahwa berhijab itu wajib hukumnya. Tapi, entah kenapa sulit
sekali memulainya. Teman saya yang sudah lebih dulu berhijab selalu bertanya
kepada saya “kapan”, dan tidak ada jawaban yang lebih baik daripada “menunggu
hidayah”, dan teman saya berkata lagi, kalau menunggu hidayah, kamu nggak akan
mulai-mulai “Hidayah itu dicari, bukan ditunggu”, lah, kok sama ya kalimatnya
seperti jodoh?
Hari
minggu di rumah adalah hari malas-malasannya kita sekeluarga kalau memang nggak
ada kegiatan. Biasanya saat makan siang adalah momen yang paling dinantikan
untuk mengobrol apa saja. Mulai dari gossip selebritis sampai yang paling
serius membahas tentang politik yang lagi heboh saat itu. Nah sekarang
bahasannya tentang saya yang mau berhijab dulu, bukan selebritis ataupun
politik.
“ma, nanti nola pinjam hijab mama ya
buat dicoba-coba!” sambil menyuap makanan ke mulut dan nyengir.
“Alhamdulillahhhhhh…” saut bang Onal
dari samping.
“Alhamdulillah sayang” kata papa
dari depan.
“Alhamdulillah dek, iyaa pakai aja
yang mana kamu suka!”
“ihii..” saya senang.
Saya
dapat tiga Alhamdulillah seketika, dalam hati saya juga lebih mengucapkan
syukur dengan keinginan itu. Semoga berawal dari coba-coba ini, besoknya sudah
mulai menutup kepala. Aamiin.
Karena
kebetulan sekarang ini lagi trendnya berhijab, jadi saya coba-coba beberapa
model hijab dari youtube yang banyak
banget tutorialnya, mulai dari hijab yang panjang atau pashmina dan ada juga
segi empat yang paling simpel. Alhamdulillah dikasih wajah yang mungil sama
Allah, jadi mudah banget saat melilitkan hijabnya.
Dan
pelan-pelan ada yang mengintip keseruan saya di depan cermin, bang Onal. Saya
beruntung menjadi adiknya, dia selalu support apa yang adiknya lakukan, tidak
pernah dalam kamusnya berkata “tidak” kepada adik satu-satunya ini. Dan dia
mulai memberi komentar,
“nah, gitu dong kan cantik. Yang
segi empat kayanya lebih cocok deh!”
“iyaa ya bang..” lebih nyaman sih,
ketutup semua”
“iya, jangan seperti emak-emak yang
abang liat di pasar, pakai hijab, rambutnya keliatan kemana-mana, baju ketat,
celana ketat, hadeuhhhh…!”
“ih abang, perhatiin aja emak-emak
di pasar!”
“yaiyalah, orang aneh gitu, sepanjang
jalan juga banyak yang perhatiin, nah abang nggak mau ya kamu kaya gitu, jadi
bahan perhatiannya orang-orang!”
“Insya Allah istiqhomah ya bang..”
“tapi kamu sudah mantap banget
belum?”
“hm… nggak tau sih bang, kok belum
pede aja rasanya!”
“karena belum biasa aja kali?’
“bisa jadi sih…”
“nanti lama-lama juga biasa kok! yang
penting kamu tau itu wajib lho dek..”
“iya bang, nola tau. Tapiiiii….”
Tiba-tiba memikirkan rambut yang abis di cat, sayang banget harus di tutup.
“tapiiiiiii apaaaaaaa?” abang
ngeledek dengan kata yang lebih panjang.
“nggak tau nih bang, belum 100
persen aja hatinya”
“yaudah, abang juga nggak mau
memaksa! itu kesadaran kamu sendiri, kalau abang paksa, nanti seminggu dua
minggu kamu buka, yang ada malu sama teman-teman kan! Yang terbaik buat kamu
aja ya.. abang dukung apapaun pilihan kamu” abang menasehati sambil
mengusap-usap kepala saya dan pergi meninggalkan kamar.
Mungkin
sedang ada setan di jiwa saya ini, saat sudah ketemu model hijab yang cocok
dengan muka saya, tiba-tiba saya memikirkan baju yang lebih banyak lengan
pendek. Dan sementara meminjam hijbnya mama dulu, dengan motif norak khas
emak-emaknya, yang kalau saya pakai akan terlihat sudah tua. Ah, bagaimana ini?
Kenapa niat saya menjadi surut kembali ya?
Berhijab
itu memang harus dari hati, tapi dengan niat di hati yang naik-turun saya jadi
ragu. Benar kata bang Onal, kalau saya pakai hijab sekarang terus tiba-tiba
seminggu lagi dibuka, apa kata orang? Tapi, kalau bukan sekarang saya
memulainya kapan lagi? Umur sudah kepala dua, sudah mau dewasa, tapi masih
nggak malu kesana-kemari pakai kaos lengan pendek dan jeans. Dimana letak Gadih
Minangnya ini?
Lama
dengan pikiran gonta-ganti soal berhijab ini, tidak lama ada jawaban dari
Allah. Disaat kamu ragu, Allah selalu memberi jawaban untukmu. Tiba-tiba mama
datang memberikan saya hadiah beberapa hijab baru dengan warna-warna polos yang
netral. Ya, inilah jawabanya. Saya tidak bisa mengelak lagi manakala pertanyaan
“harus selalu pinjam hijab mama” itu sudah musnah. Sekarang saya sudah punya
hijab sendiri, tentang baju lengan pendek masih bisa diakalin dengan kardigan.
Pelan-pelan saja dulu, nanti ada duit sedikit mulai beli bajunya yang
panjang-panjang. Semoga saya istiqhomah, aamiin.
Mari Bicara Tentang Cinta.
Saya
orangnya pasif , apalagi dalam urusan cinta. Saat saya suka dengan laki-laki,
saya hanya akan menatapnya saja dari jauh dan senyum-senyum sendiri
membayangkan wajahnya juga menatap saya, tapi kenyataannya tidak. Setelah lama
menunggu dia tak juga kunjung melihat kearah saya, jadinya down sendiri.
Saya
tidak akan berani mendekatinya, karena dekat dengannya jantung saya akan berdetak
kencang, lebih kencang daripada bunyi jarum jam dinding saat tengah malam.
Maluuu banget kan kalau sampai dia dengar. Jadi, kalau saya suka sama seseorang,
yaa saya cukup diam saja, tidak berkutik. Syukur-syukur kalau dia juga suka,
kalau enggak yaudah.. apalagi sampai digebet cewek lain, saya cuma bisa bilang
“yaudahlah, belum jodohnya kali”, Tapi hentak-hentak kasur di kamar.
Siang
itu kita ada reunian kecil-kecilan di kampus. Karena ada Pameran Desain Grafis
junior yang baru masuk. Nggak banyak sih para alumni yang datang, karena
beberapa sudah merantau nasibnya di Ibukota, jadi yang sisa-sisa saja tinggal
di Padang dan ikut memeriahkan Pameran adik-adik ini.
“eh nol, liat si Melvin nggak sih?”
Dita yang tiba-tiba datang dari belakang saat saya sedang memperhatikan salah
satu karya lukis yang bagus.
“hmm.. enggak tuh, emangnya dia
datang?”
“katanya semalam sih iya.. lagi
jemput pacarnya kali ya!”
“pacar?” saya sedikit kaget dan
langsung melihat kearah Dita.
“iya.. lagi punya pacar baru nol,
jadi jemput-jemputan dulu, hahaha..” Dita ketawa.
“sama siapa?”
“denger-denger sih sama anak baru
kuliah gitu, nggak tau tuh nemu dimana! Melvin.. Melvin..” sambil
geleng-geleng.
Hah?
Melvin sudah punya pacar? Tuh kan.. jadi galau deh. Saya pikir ke kampus hari
ini buat senang-senang, ternyata pulang-pulang galau patah hati. Melvin adalah
kasih tak sampai saya saat di kampus dulu, saya pikir dia adalah jodoh saya,
tapi sampai Wisuda dia tak kunjung juga mengatakn cinta kepada saya. Ah, sudahlah.
Fokus sama karyanya junior aja.
Saya
sadar betul dengan kekurangan saya ini. Tidak berusaha menyampaikan apa yang
saya rasakan. Padahal cewek-cewek lain sudah lebih modern dibandingkan saya.
Dekatin, beliin coklat, dan sms-smsan, jadian deh. Tapi saya nggak akan berani
seperti itu. Yang ada hanya nunduk-nunduk malu sama cowok yang disuka. Ih,
dusun banget ya?
Saya
memang tidak seaktif cewek masa kini yang dengan mudahnya mengatakan cinta,
karena katanya sekarang ini zamannya emansipasi. Tapi tidak buat saya, karena
dalam kepala saya cewek itu hanya boleh menunggu saja – mungkin maksudnya
menunggu sampai Lebaran monyet kali yaa – jadi urusan katakan cinta itu hanya
boleh laki-laki saja. Tapi kalau iya ada laki-laki yang suka? kalau tidak, ya
itu berarti DL (Derita Loe).
Saya
pernah menjadi orang lain untuk seseorang yang saya suka, jauhkan sifat saya
yang aslinya, dengan begitu saya
berharap dia juga suka dengan saya, tapi ternyata hanya buang-buang waktu dan
tenaga saja, dan saya merasa tersiksa sendiri. Ada yang datang, lalu tidak lama
pergi lagi. Begitulah kisah cinta muda saya dulu. Dan kini saya tidak mau lagi
seperti itu. Mungkin karena dulunya saya punya cita-cita untuk “dijodohkan”
makanya saya tenang-tenang saja, tapi setelah tau yang dijodohkan itu ternyata
Gito? Buru-buru punya pacar nih, biar yang di rumah dan di kampung nggak gentar
lagi jodohin saya dengan anak nakal itu.
Tidak
lama saya berkeliling mengitari karya-karya desain grafis dan lukisan di
pameran ini, Dita datang lagi menghampiri.
“lu kenapa sih grasak grusuk sendiri
dit?” Tanya saya sambil memperhatikan tingkahnya Dita yang nggak tenang.
“iya nih, gue ada perlu sama Melvin
soalnya, dia belum datang juga…”
“perlu apa? bentar lagi kali.. sabar
aja..”
“bukannya gitu nol, gue ada
interview jam 10.00 ini, tapi buku Melvin yang gue pinjam sebulan yang lalu
masih sama gue. Melvin mau bukunya dibawa sekarang, katanya perlu, tapi dia
belum juga sampai, kan gue jadi galau!!”
“telpon dulu deh mendingan.. tanya
lagi dimana?”
“nggak diangkat nol..”
“nah, lagi di jalan berarti”
“masa dari tadi masih di jalan, gue
takut telat Interviewnya nih nol.. gimana dong!!!”
Perasaan
saya mulai nggak enak, sepertinya hawa-hawa bahwa buku itu akan dititipkan
dengan saya sudah tercium. Dan itu artinya, saya bakalan bertemu dengan Melvin
dan pacar barunya. Oughhh… salah momen banget ke kampus hari ini.
“yaudah, terus gimana git? gue bisa
bantu apa?” pasrah dengan jawaban Dita yang bikin mood jelek.
“iya maaf tapi ya nol.. gue titip
buku ini buat Melvin! Dan bilangin makasih”.
Kalau
lihat wajah Dita yang memelas, jadi lupa sama hati.
“yaudah dit, btw goodluck ya
Interviewnya..”
“makasih ya nol, kalau gue keterima,
gue janji traktir lu di Haus Tea deh”.
“ihaaa… beneran ya?” sambil
melonjak.
“iyaa benerrr”
“yaudah kalo gitu gue doain lu
langsung keterima deh, jangan lupa kedip-kedip mata sama yang interviewnya ya
biar lancar!” sambil ketawa.
“ah parah lu, yaudah gue berangkat
yaa, daa…”
Dita
berlalu dengan buku Melvin ditangan. Dan selanjutnya persiapkan hati dengan
lapang, biar nggak kaget-kaget banget saat lihat pacar barunya Melvin ternyata lebih
cantik dari Luna Maya.
Sepertinya
Melvin lagi kencan, satu jam lebih menunggu disini dia belum datang juga. Saya dan
botol air minum ini duduk di Pendopo kampus sedang memperhatikan anak-anak baru
masuk sedang malu-malu punya teman baru. Seteguk lagi habis nih minuman, tapi
Melvin belum datang juga. Dalam hati ingin sekali sms dia, bilang kalau buku
Fotografinya sama saya, dan saya mau pulang. Tapiiii, nomor Melvin kan udah
saya hapus. Huft.. capek sendiri.
“nol..” terdengar suara dari jauh
sedang memanggil saya, saya kenal banget sama suara itu. Masih kenal banget
nadanya.
“melooo.. lama bangetttt” saya
jawabnya kesal, karena double.. yang pertama karena lama nungguin, dan yang
kedua karena Melvin sudah punya pacar baru.
“maph..maaph.. makan dulu tadi!”
wajahnya hampir memutar balikkan otak saya, jangan sampai mencuri hati yang
sudah hampir Move On ini.
“lu enak-enak makan, gue
panas-panasan nungguin disini!”
“hahaha, udah lama ya? Dita udah
dari tadi berangkatnya?
“iyaaaa…” masih jawab dengan kesal.
“nih gue beliin cappuccino cincau
dong, kesukaan lu..”
“nah gituuu dongg.. beliin gue something!”
“buku gue dong..!”
“nih..” jawab sekenanya sambil
menyerupu minuman kesukaan, masih ingat aja dia saya suka cappuccino cincau
ini.
“iya makasih ya.. dan maaf sekali
lagi nol jadi lama nunggunya..!”
Dan
dari belakang Melvin sudah ada cewek yang sedang memanggil-manggil namanya,
dengan wajah sedikit jutek karena kelamaan nunggu. Dalam hati, saya yakin
banget bahwa cewek ini adalah orangnya. Sekilas mereview profil doi, sepertinya dia masih ABG banget, masih
manyun-manyun manja, rambutnya panjang terurai berwarna coklat gold terpapar dari sinar Matahari. Dari
jauh terlihat cantik sih, tapi agak sedikit kecil dari saya. Ah, semoga kalian
bahagia. Dan saya pulang kerumah dengan sebuah lagu Afgan.
Doktrin.
Bukan
karena kebelet nikah, tapi memang lagi gilirannya saya sekarang ini. Mengingat
umur yang sudah tidak muda lagi, dan wajah yang sudah mulai ada garis-garis
tipis. Saat ini, ada tiga orang yang sedang memenuhi isi kepala saya, dan
ketiganya sama-sama berusaha mendoktrin saya untuk berkata “Ya” saat di sodori
pertanyaan untuk Menikah muda.
Yang
pertama adalah ; teman lama saya, namanya Adit. Setelah menikah baru-baru ini,
dia mendirikan Komunitas Indonesia Menikah yang tagline nya begini “ Pacaran,
No! Menikah, Yess!”. Hampir setiap percakapannya, pembahasannya, dan
pemikirannya tentang ayooo Menikah muda. Dan yang paling tidak bisa saya lupakan
kata-katanya yang mengatakan bahwa “perempuan hanya akan tenang saat dia sudah
menikah!”. Waduhh.. otak kanan saya langsung berdenyut kencang sinyalnya,
seperti ingin buru-buru melangsungkannya saja.
Dan
yang kedua adalah ; sahabat saya dari kecil.
Sebut saja namanya Otong. Kalau ditanyakan tentang kita, banyak sekali
yang bisa dibicarakan mulai dari A sampai Z, tapi yang paling garis besar
adalah tentang kebiasaan kita yang suka mengkhayal. Mulai dari merencanakan Menikah
bersama-sama seperti di Film Bridewars,
kalau sudah punya anak lalu dijodohkan, honeymoon romantis ala Edward Cullen,
hingga nama anak pertama kita sudah ada di notebook masing-masing. Dan baru-baru
ini dia memberikan kabar akan menikah tahun depan, yang artinya sebentar lagi.
(oke, intinya buru-buru cari pacar biar bisa menikah di hari yang sama seperti
khayalan kita dulu).
Lalu
yang terakhir adalah ; kata-kata dari Anduang, seperti biasa, di ruang mankan
akan selalu ada obrolan seru, saya dan Anduang tertangkap situasi yang membuat
hati lirih.
“nol, ibuk itu udah sakit-sakitan..
kamu tau?”
“tau Nduang..”
“jangan lama-lama yaa, kasian Ibuk
udah pengen banget liat cucunya Nikah!”
“iya Nduang, tapi..” menghela nafas
panjang.
“tapi apa?”
“nola kan belum punya pacar, dan
Gito itu, Nola nggak suka..”
“nola sayang, kamu tau Anduang dan
Gaek itu dulu juga di jodohkan? Sekarang Alhamdulillah masih bersama.. nggak
ada yang tau Jodoh itu baik atau tidaknya sebelum kita menjalaninya kan..”
“iya Nduang, jadi intinya Nola
dijodohkan dengan Gito??”
“Anduang bukannya bermaksud untuk
memaksa, tapi kan kamu tau kita semua disini ingin yang terbaik buat kamu”
“jadi Gito itu yang terbaik?” saya
pasrah dengan jawaban-jawaban Anduang yang sepertinya tidak akan bisa
dipatahkan lagi tentang perjodohan itu.
“paling tidak, kita tau keluarganya,
kita kenal keluarganya!”
“iya Anduang, Nola terserah saja,
kalau memang itu yang terbaik, nola akan ikuti”
Dan
dengan sendirinya, mimpi-mimpi itu sudah tersusun sendiri. Saya sudah pasrah
dari awal ketika saya ditakdirkan menjadi pewaris tunggal harta keluarga besar
ini. Saya sudah pasrah, manakala cita-cita itu hanya tinggal cita-cita. Ya,
nola hanya akan berakhir menjadi Siti Nurbaya yang tak ubahnya dengan Gadih
Minang yang lainnya.
Dan
doktrin yang terakhir ini membuat saya sangat shock dan terkulai lemas diatas
kasur, hampir sulit bernafas karena sesak di dada. Ingin menangis rasanya, tapi
tak bisa. Kata-kata anduang begitu berat untuk saya.
Sudah
habis dari separuh isi di kepala ini memikirkan tentang menikah secepatnya.
Kalau kemarin saya bingung siapa calonnya, sekarang sudah ada jawabannya. tidak
ada lagi cerita cinta berikutnya, yang ada hanya cinta yang sudah ada, semoga
saja saya bahagia nantinya. Dan semoga jalan ini adalah jalan Allah untuk saya
mulai merajut cita-cita saya yang dulu sempat terhenti karena harus tetap
tinggal di Padang.