Selembar Kertas Di Malam Hari.
Saya adalah seorang Gadih Minang
yang sedang menyusun mimpi.
Memilih antara keinginan dan
kebutuhan.
Yang sedang menunggu untuk bahagia.
“Kamu percaya mimpi?”
Kalau kamu percaya, berarti kamu percaya
apa yang tidak mungkin itu bisa jadi nyata.
Selalu saya ingat kata-kata teman
saya yang itu.
Ingatlah bahwa pagi itu akan berlalu
menjadi siang tanpa kamu sadar,
dan siang pasti akan menjadi sore setelah
matahari mulai meredup,
senja, jangan biarkan menjadi malam
sebelum kamu menemukan satu cerita indah di hari ini.
Tentang jodoh? Saya percaya jodoh
itu jalannya menarik.
Mungkin dia adalah tetangga saya,
Atau orang di seberang rumah saya,
Atau teman kakak saya,
Atau mantan pacar sahabat saya,
Atau bisa jadi sahabat saya sendiri?
semua bisa jadi mungkin jika Yang
Diatas sudah berkata.
kita tidak pernah tau jalan apa yang
ada di depan kita?
Yang kita tau hanya jalani saja.
Syukur-syukur jalannya benar,
Kalau salah ya balik lagi.
Dan yang terakhir adalah tentang
tujuan?
Mau jadi apa saya sebenarnya?
Mau kearah mana kaki saya
sebenarnya?
Saya sendiri saja tidak tau arah
apalagi tujuan.
Saya butuh dibimbing, bukan
pembimbing.
Saya butuh diingatkan, bukan
diteriakkan.
Saya butuh satu orang, bukan banyak.
Ya, itu saja..
Gito.
Akhirnya
hari itu tiba, hari yang dinantikan seluruh keluarga ini, yaitu menunggu
kedatangan keluarga Om Hen. Hari ini adalah Lebaran kedua, diluar masih ramai
dengan suara anak-anak yang datang “menambang” (bertamu untuk meminta THR). Dan
saya hanya merasakan kesenangan mereka dari balik jendela kamar ini.
Keluarga
Om Hen memang sudah lama tidak pulang ke Padang, kira-kira lima tahun tidak
Lebaran di Kampung halaman, jadi sekalinya pulang adalah momen yang dinantikan para
keluarga jauhnya disini, termasuk keluarga saya. Dan juga sekaligus akan menyampaikan
maksud baik dari keluarga saya tentunya.
Dari
kemarin Anduang sudah telpon-telponan dengan Om Hen untuk memastikan bahwa hari
ini mereka jadi kesini, dan mereka menjawab “ya..”, itu berarti mereka pasti akan
kesini hari ini. Dari pagi di dapur sudah ribut tidak jelas. Sesekali terdengar
suara piring pecah, gelak tawa, teriakan, hingga mesin parutan kelapa yang
nggak berhenti menyala dari tadi. Heran.. Pada mau masak besar kali ya? Seperti
ada tamu agung saja.
Di sisi
lainnya, ada seorang saya yang sedang tidak jelas bentuk hatinya. Di dalam
kamar ini saya hanya berteman dengan cermin. Katanya harus dandan, jangan
acakadun seperti biasanya. Tapi, saya ya begini orangnya, nggak suka dandan
karena kata bang Onal sudah cantik kok! Yaudah apa adanya saja. Syukur-syukur
nggak suka, tapi kalau tetap suka, mau bagaimana lagi, berarti itu takdir,
nggak bisa dihelakkan. Hah? Bangun Nola.. seolah saya masih belum percaya tentang
perjodohan ini.
Di sisi
satunya lagi, ada seorang saya dari tingkat imajinasi tinggi yang sedang
membayangkan dan merekayasa kejadian yang akan terjadi beberapa saat lagi.
Dimulai dari keluarga mereka datang, duduk, makan-makan, ketawa-ketiwi, sampai ngobrol
serius, saya bak gadis lugu yang hanya diam di sebuah kursi dan malu-malu
menatap mata mereka yang sedang membicarakan saya. Apakah akan seperti itu
nantinya? Aduh saya jadi malu sendiri kalau memang benar.
Atau imajinasi
yang kedua, belok kearah yang lebih ekstrim. Dengan saya yang mencak-mencak
tidak jelas saat mereka datang, lalu menjadi cerewet yang naudzubillah, mungkin
akan terlihat konyol dimata mereka, lalu pulang dan tidak menerima perjodohan
itu.
Kenyataannya
pikiran saya lebih berat kepada “tidak jadi dijodohkan” memang, dibandingkan
dengan “Jadi”. Karena dari semalam hingga kini, hati saya berusaha memberontak
perjodohan itu. Bahkan sekalipun sebenarnya Gito anaknya Om Hen itu adalah
laki-laki tegap dan tampan seperti Channing Tatum.
Waktu
berlalu begitu cepat disaat saya tidak suka sebuah momen yang akan terjadi
sebentar lagi. Kami di rumah ini sudah rapi semua, termasuk saya. Dengan
terusan abu-abu polkadot dan hijab polos warna hitam saya menunggu di depan Tv
sambil memegang handphone. Memang
nggak jelas sih, mau nonton apa mau browsing? Saya gelagapan.
Jam 10
pagi lewat 15 menit, sepertinya hawa mencekam mulai terasa. Saya nggak karuan
dengan suara-suara mobil diluar. Dan darah saya luruh ke hati dan jantung saat
ada satu mobil masuk pagar rumah Anduang. Dan mata semua tertuju kepada saya?
lah kenapa? Memang saya belum cantik ya? Kok gitu sih ekspresinya?
Yap, benar
sekali. Itu adalah Om Hen. Kalau ditanya bagaimana perasaan saya saat itu
adalah zonk… ingin nonton Doraemon aja rasanya, biar agak legaan. Tapi ternyata
Film Doraemonnya nggak ada.
Satu
langkah demi satu langkah saya menuju kedepan rumah sambil membayangkan wajah
yang akan saya lihat. Seperti apa ya Gito dewasa? Tapi.. Allah berkehendak
lain. Yang datang ternyata hanya Om Hen dan Tante Werti istrinya, dan satu lagi
anak kecil kira-kira berumur 3 Tahun sedang dibimbing oleh Tante Werti masuk kedalam
rumah.
“asalamualaikum..” mereka serentak
mengucapkan salam.
“waalaikumsalam..” dan kami pun
serentak menjawabnya.
“bertiga saja Hen?” ibuk bertanya.
“iya.. pada jalan-jalan ke Bukittinggi,
maklumlah Tek sudah lama nggak pulang!”
“oooo… masuk-masuk..”
“ini cucu Om?” bang Onal bertanya
sambil mencoba menggendong anak tersebut.
“ohiya Nal.. anaknya Gina..”
“Gina nya mana da Hen? Anaknya
disini ibunya nggak ada” Mak dang bertanya.
“lagi mules-mules terus dari
kemarin, biasalah Lebaran kebanyakan makan kacang!”
“ooo… iya lagi musim sakit kalau
abis Lebaran gini..” sambung Ibuk.
“Gito om? Apakabarnya dia?” ekspresi bang Onal
bertanya seolah-olah udah dekat banget dengan calon iparnya itu. Huft..
“nggak Nal, dia lagi jalan-jalan ke Bukit sama calon
istrinya, kebetulan banget ni sekarang Om sambil nganterin undangan
pernikahannya!”
Dan,
semuanya melongoh. Pada kenyataannya Allah sudah mengatur segalanya menjadi
manis sekali. Untung keluarga saya belum sempat mengutarakan niat baik itu,
kalau sudah kan jadi malu sendiri.. ternyata yang bersangkutan sudah laku
duluan. Walah-walah.. berlonjak dalam hati.
Semenjak
kejadian itu, sepertinya Mak adang tidak berkutik apa-apa lagi soal perjodohan
saya, dan berikut Anduang bahkan hingga Ibuk dan Mama. Entah mereka yang
kecewa, atau justru kasian dengan saya, yang jelas percakapan tentang
perjodohan itu sudah selesai. Dan berikutnya saya kembali merencanakan mimpi
baru. Saya percaya akan jalan Allah itu menarik, yang penting saya tetap jadi
orang baik, pasti dapat yang baik. Yeay..
Mama Bicara Serius.
Semenjak
kejadian gagal dojodohin Lebaran kemarin, mama jadi baik banget sama saya.
Hampir tiap hari diajak keluar rumah, entah itu hanya ke supermarket saja atau
sekedar makan gado-gado dekat rumah. Dalam hati saya, kok kesannya saya yang dikasihani
ya, padahal sebenarnya saya itu gembira sekali perjodohan itu batal. Tapi
yaudahlah ya, diterima saja bonusnya, kapan lagi coba, mama yang pelit ini ajak
saya makan diluar tiap mama pulang mengajar.
“da, gado-gadonya super pedas ya, rawitnya 7” dengan
pede nya saya pesan gado-gado level 7 kali ini.
“eh kamu… nanti sakit perut! Jangan ih..” mama
dengan nada khawatir.
“mam, kemaren rawitnya 5 tuh masih belum nendang..!”
“iya tapi jangan 7 juga, mama nggak tanggung jawab
ya kalau kamu dirumah mencret!”
“hahahaha, iyaa mam!”
Tidak
lama, gado-gadol level 7 pun datang, kuah kacangnya agak beda dari kemaren
memang, lebih mantap. Beda sekali dengan gado-gado pesanan mama yang cuma pakai
3 rawit, karena mama punya gangguan lambung, jadi nggak berani makan makanan
pedas yang sampai doer.
“hmmm… ini mantappp!” saya sampai
memberikan jempol sama piring gado-gadonya.
“habisin, awas nggak abis, mama
bayarnya pake duit bukan pake daun”
“tenang maa..”
Sesuap
masih belum berasa nendangnya, tapi pada suapan ke tiga, sudah mulai ada yang
mengigit di lidah. Ini baru rawit namanya, dan keringat mulai bercucuran di
kening, mana hari itu lagi panas terik. Mantap bangetlah…
“dek, sebenarnya mama mau bicara ini……”
“bicara? Tumben mam, mau bicara harus ngajak makan
dulu, kan tinggal ke kamar nola aja, terus kita bicara!”
“hmm… iya juga sih, jadi nggak keluar duit gini ya
dek!” mama sambil senyum.
“tuh.. pelitnya udah mulai keluar deh…”
“mama mau puasin makan dan jalan-jalan sama kamu
dek, sebelum nanti kamu merantau!”
“hah?” gado-gado saya yang udah pedas, ketelen lagi
belum sempat ngunyah, apalagi yang ketelah itu rawitnya, saya sampai
batuk-batuk karena perih banget di tenggorokan mendengar jawaban mama.
“tuh kan, mama udah bilang, jangan pedes-pedes
banget…”
“uhuk..uhuk..” sampai berair nih mata karena perih
rawitnya.
“minum dulu dek.. minum nih” mama sambil menyuapin
saya minum.
Mimpi apa
saya semalam, atau mama yang mimpi apa semalam, sampai mama membicarakn soal
saya “merantau”.
“mam, itu maksudnya merantau apa?
Uhuk..uhuk..” masih batuk.
“iya dek, mama udah bicara sama papa dan abang,
mereka setuju kalu kamu merantau, masa uji coba dulu lah dalam tiga bulan
kedepan!”
“beneran Mam??” seolah masih belum percaya tentang
ini.
“beneran dek.. yang keras sebenarnya kan Mama yang
nggak ngebolehin kamu merantau! Jadi kata Papa kamu, Mama yang harus bicara
sama kamu soal ini!”
“ya ampun mam.. senang banget dengarnya!” sambil
kita berpelukan.
“iya dek, maafin Mama ya mengurung kamu kaya gini!”
Si uda
gado-gado sampai memperhatikan tingkah kami berdua yang aneh, berpelukan, mama
sedikit menitikkan air mata, dan saya nggak jelas antara mau nangis atau mau
teriak senang. Yang jelas hari ini, ada harapan baru dari doa-doa saya setiap
malam. Allah sedang membuka pintu untuk mewujudkan mimpi saya di depan sana.
Yeay…
“trus mam, gimana soal Ibuk, Anduang, dan Mak dang.
Mereka ngebolehin nola merantau nggak?”
“udah dek, sebenarnya abis Lebaran kemarin kita
sudah sempat ngomongin soal ini, cuma kamu nya aja yang nggak tau!”
“ohiya? Kapan ada sidang begitu kok nola nggak tau!”
“ya adalah, makanya kalo Lebaran tu jangan
makan-tidur aja kerjaannya..” ketus mama.
Sepertinya
setelah kepulangan om Hen dari Rumah Anduang waktu itu, dan membawa kabar tidak
enaknya, keluarga saya membahas tentang nasib saya mau jadi apa. Ya, semenjak
lulus wisuda, kerjaannya cuma mondar-mandir di dalam rumah saja, mungkin mereka
kasian lihat saya. Dan say thank you to
Om Hen. Kalau saja tidak ada Om Hen yang memberikan kabar itu, mungkin
belum tentu akan ada pembahasan soal “Merantau” ini.
“da, gado-gado level 7 nya bungkus
satu ya” saya mengebu-ngebu.
“eh, buat siapa?”
“senang jadi laper terus ma, buat
nanti..hehehe..”
Dan kami
pulang dengan wajah saya yang berseri-seri. Dan Jakarta sedang ada di pelupuk
mata.
Hari Kebebasan
Hari ini
tidak akan pernah saya lupakan, hari kebesan saya dari rumah ini. Bukannya saya
membenci tinggal disini, tapi saya hanya ingin mencoba dunia luar bagaimana
rasanya. Katanya, orang Minang itu kan terkenal merantau, masa nenek moyangnya
merantau, cicitnya nya nggak bisa merantau? Bukan turun temurun dong namanya.
Hati saya
bercampur aduk rasanya. Sedikit ada rasa takut dan penasaran apakah saya akan
baik-baik saja tinggal di rantau orang seorang diri? Tidak hanya itu, sebuah
tanggung jawab juga harus saya pikul setelah selangkah keluar dari rumah dengan
3 buah koper ini. Akankah saya bisa mempertanggungjawabkan perkataan saya
kepada orang tua dan keluarga besar saya tentang “ingin mandiri?”.
Nenek
seakan tidak rela, setelah berpamitan beliau tidak berhenti menatap saya dari
pintu kamar hingga ke pagar. Mama dan papa juga, sesekali mereka cerewet soal
hati-hati, dan berulangkali mengucapkan “jaga kesehatan, kalau ada apa-apa
langsung beri kabar kerumah” dan ceramahan lainnya yang sudah berlangsung dari
tadi malam. Abang yang sepertinya terlihat lebih adem dan merelakan adiknya
untuk berjuang dirantau orang, tiba-tiba memeluk saya lama sekali saat akan
mengantarkan saya ke BIM (Bandara Internasional Minangkabau). Pecah sudah
suasana rumah di hari keberangkatan saya. Saya yang sudah berusaha menahan
tangis dari tadi, ternyata kalah juga, dan haru-biru lah suasana pagi itu.
“dek, obat-obatan semalam sudah
masuk tas semua?”
“udah mam..”
“dek, sampai disana langsung telpon
kerumah ya?”
“iya mam..”
“dek, kalau sakit kasih kabar, biar
mama kesana!”
“siap mam..”
“dek, kalau uang habis, bilangin ke
mama atau papa ya!”
“makasih mam..”
“dek jangan nakal-nakal disana”
“oke mam”
“pokoknya kalau ada apa-apa kasih
tau ya nak..” papa menyambung.
“iya papa… makasih ya pa”? sambil
memeluk mama dan papa.
Namanya
juga baru pertama kali, ya pastilah mama akan secerewet ini. Yang hari biasa
saja sudah cerewet soal ini-itu, apalagi soal merantau yang anaknya akan jauh
dari penglihatannya, ya pastilah akan dibahas semuanya dari A hingga Z. Walau
sedikit sedih karena akan jauh dari keluarga sementara waktu, namun ada setitik
bahagia karena salah satu keinginan saya akhirnya tercapai juga. Yeayy…
Pesawat
saya berangkat jam 11.30 siang, jam 10 lewat 5 menit saya sudah sampai di
Bandara BIM. Setelah berpelukan lagi dengan abang, dan sedikit bisikan lirihnya
saya menghapus air mata yang kesekian kalinya. “adek disana hati-hati ya banyak
orang jahat!” dan si abang langsung berlalu mebalik badan menuju parkiran.
Sepertinya abang juga sedang menangis, dan malu dengan adiknya kalau ketahuan
sedang menyeka air matanya. Dalam hati saya menjawab “iya bang, adikmu akan
selalu hati-hati!”
Hari ini,
seperti menonton drama Korea, saya menangis terisak-isak saat membayangkan satu
persatu wajah keluarga saya. Kok jadi lebay yah? Padahal Padang-Jakarta kan
cuma 2 jam, bisa saja pulang kapan saja. Anggap saja seperti Padang-Bukittinggi
yang ditempuh dengan jarak dan waktu yang sama. Ah, ini hanyalah masalah pertama
kali, nanti kalau sudah terbiasa jadi biasa aja kok.
See you Padang, I will miss you everyday, saat saya
melihat keluar jendela ketika Pesawatnya take off, dan saya nangis kembali.
Padahal ini bukan drama korea, saat Goo Jun Pyo meningglakan Geum Jan Di keluar
Negeri. Ini tuh nyata, sebentar lagi saya akan melalui hari-hari sendiri tanpa
mereka yang dekat di hati.
Dari atas
pesawat, terlihat kota Padang sudah jauh berlalu. Masuklah suasana seribu pulau
yang indah. Pulau-pulau kecil yang terlihat seperti semut dari jendela peswat ini,
ya.. sebentarlagi pesawat akan mendarat di bandara Soekarno Hatta, itu tandanya
bendera kemerdekaan sudah dikibarkan. Inilah hari pembebasan itu. Tidak mudah
menuju hari ini buat saya, saya harus melalui banyak cerita dulu, sampai harus
melewati sinetron perjodohan segala. Tapi, semua indah pada waktunya kan. Saya
percaya akan hari ini pasti datang.