Pages

Selembar Kertas Di Malam Hari

Selasa, 20 November 2012


Selembar Kertas Di Malam Hari.

Saya adalah seorang Gadih Minang yang sedang menyusun mimpi.
Memilih antara keinginan dan kebutuhan.
Yang sedang menunggu untuk bahagia.

“Kamu percaya mimpi?”
Kalau kamu percaya, berarti kamu percaya apa yang tidak mungkin itu bisa jadi nyata.
Selalu saya ingat kata-kata teman saya yang itu.

Ingatlah bahwa pagi itu akan berlalu menjadi siang tanpa kamu sadar,
dan siang pasti akan menjadi sore setelah matahari mulai meredup,
senja, jangan biarkan menjadi malam sebelum kamu menemukan satu cerita indah di hari ini.

Tentang jodoh? Saya percaya jodoh itu jalannya menarik.
Mungkin dia adalah tetangga saya,
Atau orang di seberang rumah saya,
Atau teman kakak saya,
Atau mantan pacar sahabat saya,
Atau bisa jadi sahabat saya sendiri?
semua bisa jadi mungkin jika Yang Diatas sudah berkata.

kita tidak pernah tau jalan apa yang ada di depan kita?
Yang kita tau hanya jalani saja.
Syukur-syukur jalannya benar,
Kalau salah ya balik lagi.

Dan yang terakhir adalah tentang tujuan?
Mau jadi apa saya sebenarnya?
Mau kearah mana kaki saya sebenarnya?
Saya sendiri saja tidak tau arah apalagi tujuan.
Saya butuh dibimbing, bukan pembimbing.
Saya butuh diingatkan, bukan diteriakkan.
Saya butuh satu orang, bukan banyak.
Ya, itu saja..


 Gito.

Akhirnya hari itu tiba, hari yang dinantikan seluruh keluarga ini, yaitu menunggu kedatangan keluarga Om Hen. Hari ini adalah Lebaran kedua, diluar masih ramai dengan suara anak-anak yang datang “menambang” (bertamu untuk meminta THR). Dan saya hanya merasakan kesenangan mereka dari balik jendela kamar ini.

Keluarga Om Hen memang sudah lama tidak pulang ke Padang, kira-kira lima tahun tidak Lebaran di Kampung halaman, jadi sekalinya pulang adalah momen yang dinantikan para keluarga jauhnya disini, termasuk keluarga saya. Dan juga sekaligus akan menyampaikan maksud baik dari keluarga saya tentunya.

Dari kemarin Anduang sudah telpon-telponan dengan Om Hen untuk memastikan bahwa hari ini mereka jadi kesini, dan mereka menjawab “ya..”, itu berarti mereka pasti akan kesini hari ini. Dari pagi di dapur sudah ribut tidak jelas. Sesekali terdengar suara piring pecah, gelak tawa, teriakan, hingga mesin parutan kelapa yang nggak berhenti menyala dari tadi. Heran.. Pada mau masak besar kali ya? Seperti ada tamu agung saja.

Di sisi lainnya, ada seorang saya yang sedang tidak jelas bentuk hatinya. Di dalam kamar ini saya hanya berteman dengan cermin. Katanya harus dandan, jangan acakadun seperti biasanya. Tapi, saya ya begini orangnya, nggak suka dandan karena kata bang Onal sudah cantik kok! Yaudah apa adanya saja. Syukur-syukur nggak suka, tapi kalau tetap suka, mau bagaimana lagi, berarti itu takdir, nggak bisa dihelakkan. Hah? Bangun Nola.. seolah saya masih belum percaya tentang perjodohan ini.

Di sisi satunya lagi, ada seorang saya dari tingkat imajinasi tinggi yang sedang membayangkan dan merekayasa kejadian yang akan terjadi beberapa saat lagi. Dimulai dari keluarga mereka datang, duduk, makan-makan, ketawa-ketiwi, sampai ngobrol serius, saya bak gadis lugu yang hanya diam di sebuah kursi dan malu-malu menatap mata mereka yang sedang membicarakan saya. Apakah akan seperti itu nantinya? Aduh saya jadi malu sendiri kalau memang benar.

Atau imajinasi yang kedua, belok kearah yang lebih ekstrim. Dengan saya yang mencak-mencak tidak jelas saat mereka datang, lalu menjadi cerewet yang naudzubillah, mungkin akan terlihat konyol dimata mereka, lalu pulang dan tidak menerima perjodohan itu.

Kenyataannya pikiran saya lebih berat kepada “tidak jadi dijodohkan” memang, dibandingkan dengan “Jadi”. Karena dari semalam hingga kini, hati saya berusaha memberontak perjodohan itu. Bahkan sekalipun sebenarnya Gito anaknya Om Hen itu adalah laki-laki tegap dan tampan seperti Channing Tatum.

Waktu berlalu begitu cepat disaat saya tidak suka sebuah momen yang akan terjadi sebentar lagi. Kami di rumah ini sudah rapi semua, termasuk saya. Dengan terusan abu-abu polkadot dan hijab polos warna hitam saya menunggu di depan Tv sambil memegang handphone. Memang nggak jelas sih, mau nonton apa mau browsing? Saya gelagapan.

Jam 10 pagi lewat 15 menit, sepertinya hawa mencekam mulai terasa. Saya nggak karuan dengan suara-suara mobil diluar. Dan darah saya luruh ke hati dan jantung saat ada satu mobil masuk pagar rumah Anduang. Dan mata semua tertuju kepada saya? lah kenapa? Memang saya belum cantik ya? Kok gitu sih ekspresinya?

Yap, benar sekali. Itu adalah Om Hen. Kalau ditanya bagaimana perasaan saya saat itu adalah zonk… ingin nonton Doraemon aja rasanya, biar agak legaan. Tapi ternyata Film Doraemonnya nggak ada.

Satu langkah demi satu langkah saya menuju kedepan rumah sambil membayangkan wajah yang akan saya lihat. Seperti apa ya Gito dewasa? Tapi.. Allah berkehendak lain. Yang datang ternyata hanya Om Hen dan Tante Werti istrinya, dan satu lagi anak kecil kira-kira berumur 3 Tahun sedang dibimbing oleh Tante Werti masuk kedalam rumah.

            “asalamualaikum..” mereka serentak mengucapkan salam.
            “waalaikumsalam..” dan kami pun serentak menjawabnya.
            “bertiga saja Hen?” ibuk bertanya.
            “iya.. pada jalan-jalan ke Bukittinggi, maklumlah Tek sudah lama nggak pulang!”
            “oooo… masuk-masuk..”
            “ini cucu Om?” bang Onal bertanya sambil mencoba menggendong anak tersebut.
            “ohiya Nal.. anaknya Gina..”
            “Gina nya mana da Hen? Anaknya disini ibunya nggak ada” Mak dang bertanya.
            “lagi mules-mules terus dari kemarin, biasalah Lebaran kebanyakan makan kacang!”
            “ooo… iya lagi musim sakit kalau abis Lebaran gini..” sambung Ibuk.
“Gito om? Apakabarnya dia?” ekspresi bang Onal bertanya seolah-olah udah dekat banget dengan calon iparnya itu. Huft..
“nggak Nal, dia lagi jalan-jalan ke Bukit sama calon istrinya, kebetulan banget ni sekarang Om sambil nganterin undangan pernikahannya!”

Dan, semuanya melongoh. Pada kenyataannya Allah sudah mengatur segalanya menjadi manis sekali. Untung keluarga saya belum sempat mengutarakan niat baik itu, kalau sudah kan jadi malu sendiri.. ternyata yang bersangkutan sudah laku duluan. Walah-walah.. berlonjak dalam hati.

Semenjak kejadian itu, sepertinya Mak adang tidak berkutik apa-apa lagi soal perjodohan saya, dan berikut Anduang bahkan hingga Ibuk dan Mama. Entah mereka yang kecewa, atau justru kasian dengan saya, yang jelas percakapan tentang perjodohan itu sudah selesai. Dan berikutnya saya kembali merencanakan mimpi baru. Saya percaya akan jalan Allah itu menarik, yang penting saya tetap jadi orang baik, pasti dapat yang baik. Yeay..



 Mama Bicara Serius.

Semenjak kejadian gagal dojodohin Lebaran kemarin, mama jadi baik banget sama saya. Hampir tiap hari diajak keluar rumah, entah itu hanya ke supermarket saja atau sekedar makan gado-gado dekat rumah. Dalam hati saya, kok kesannya saya yang dikasihani ya, padahal sebenarnya saya itu gembira sekali perjodohan itu batal. Tapi yaudahlah ya, diterima saja bonusnya, kapan lagi coba, mama yang pelit ini ajak saya makan diluar tiap mama pulang mengajar.

“da, gado-gadonya super pedas ya, rawitnya 7” dengan pede nya saya pesan gado-gado level 7 kali ini.
“eh kamu… nanti sakit perut! Jangan ih..” mama dengan nada khawatir.
“mam, kemaren rawitnya 5 tuh masih belum nendang..!”
“iya tapi jangan 7 juga, mama nggak tanggung jawab ya kalau kamu dirumah mencret!”
“hahahaha, iyaa mam!”

Tidak lama, gado-gadol level 7 pun datang, kuah kacangnya agak beda dari kemaren memang, lebih mantap. Beda sekali dengan gado-gado pesanan mama yang cuma pakai 3 rawit, karena mama punya gangguan lambung, jadi nggak berani makan makanan pedas yang sampai doer.

            “hmmm… ini mantappp!” saya sampai memberikan jempol sama piring gado-gadonya.
            “habisin, awas nggak abis, mama bayarnya pake duit bukan pake daun”
            “tenang maa..”

Sesuap masih belum berasa nendangnya, tapi pada suapan ke tiga, sudah mulai ada yang mengigit di lidah. Ini baru rawit namanya, dan keringat mulai bercucuran di kening, mana hari itu lagi panas terik. Mantap bangetlah…

            “dek, sebenarnya mama mau bicara ini……”
“bicara? Tumben mam, mau bicara harus ngajak makan dulu, kan tinggal ke kamar nola aja, terus kita bicara!”
“hmm… iya juga sih, jadi nggak keluar duit gini ya dek!” mama sambil senyum.
“tuh.. pelitnya udah mulai keluar deh…”
“mama mau puasin makan dan jalan-jalan sama kamu dek, sebelum nanti kamu merantau!”
“hah?” gado-gado saya yang udah pedas, ketelen lagi belum sempat ngunyah, apalagi yang ketelah itu rawitnya, saya sampai batuk-batuk karena perih banget di tenggorokan mendengar jawaban mama.
“tuh kan, mama udah bilang, jangan pedes-pedes banget…”
“uhuk..uhuk..” sampai berair nih mata karena perih rawitnya.
“minum dulu dek.. minum nih” mama sambil menyuapin saya minum.

Mimpi apa saya semalam, atau mama yang mimpi apa semalam, sampai mama membicarakn soal saya “merantau”.

            “mam, itu maksudnya merantau apa? Uhuk..uhuk..” masih batuk.
“iya dek, mama udah bicara sama papa dan abang, mereka setuju kalu kamu merantau, masa uji coba dulu lah dalam tiga bulan kedepan!”
“beneran Mam??” seolah masih belum percaya tentang ini.
“beneran dek.. yang keras sebenarnya kan Mama yang nggak ngebolehin kamu merantau! Jadi kata Papa kamu, Mama yang harus bicara sama kamu soal ini!”
“ya ampun mam.. senang banget dengarnya!” sambil kita berpelukan.
“iya dek, maafin Mama ya mengurung kamu kaya gini!”

Si uda gado-gado sampai memperhatikan tingkah kami berdua yang aneh, berpelukan, mama sedikit menitikkan air mata, dan saya nggak jelas antara mau nangis atau mau teriak senang. Yang jelas hari ini, ada harapan baru dari doa-doa saya setiap malam. Allah sedang membuka pintu untuk mewujudkan mimpi saya di depan sana. Yeay…

“trus mam, gimana soal Ibuk, Anduang, dan Mak dang. Mereka ngebolehin nola merantau nggak?”
“udah dek, sebenarnya abis Lebaran kemarin kita sudah sempat ngomongin soal ini, cuma kamu nya aja yang nggak tau!”
“ohiya? Kapan ada sidang begitu kok nola nggak tau!”
“ya adalah, makanya kalo Lebaran tu jangan makan-tidur aja kerjaannya..” ketus mama.

Sepertinya setelah kepulangan om Hen dari Rumah Anduang waktu itu, dan membawa kabar tidak enaknya, keluarga saya membahas tentang nasib saya mau jadi apa. Ya, semenjak lulus wisuda, kerjaannya cuma mondar-mandir di dalam rumah saja, mungkin mereka kasian lihat saya. Dan say thank you to Om Hen. Kalau saja tidak ada Om Hen yang memberikan kabar itu, mungkin belum tentu akan ada pembahasan soal “Merantau” ini.

            “da, gado-gado level 7 nya bungkus satu ya” saya mengebu-ngebu.
            “eh, buat siapa?”
            “senang jadi laper terus ma, buat nanti..hehehe..”

Dan kami pulang dengan wajah saya yang berseri-seri. Dan Jakarta sedang ada di pelupuk mata.


 Hari Kebebasan

Hari ini tidak akan pernah saya lupakan, hari kebesan saya dari rumah ini. Bukannya saya membenci tinggal disini, tapi saya hanya ingin mencoba dunia luar bagaimana rasanya. Katanya, orang Minang itu kan terkenal merantau, masa nenek moyangnya merantau, cicitnya nya nggak bisa merantau? Bukan turun temurun dong namanya.

Hati saya bercampur aduk rasanya. Sedikit ada rasa takut dan penasaran apakah saya akan baik-baik saja tinggal di rantau orang seorang diri? Tidak hanya itu, sebuah tanggung jawab juga harus saya pikul setelah selangkah keluar dari rumah dengan 3 buah koper ini. Akankah saya bisa mempertanggungjawabkan perkataan saya kepada orang tua dan keluarga besar saya tentang “ingin mandiri?”.

Nenek seakan tidak rela, setelah berpamitan beliau tidak berhenti menatap saya dari pintu kamar hingga ke pagar. Mama dan papa juga, sesekali mereka cerewet soal hati-hati, dan berulangkali mengucapkan “jaga kesehatan, kalau ada apa-apa langsung beri kabar kerumah” dan ceramahan lainnya yang sudah berlangsung dari tadi malam. Abang yang sepertinya terlihat lebih adem dan merelakan adiknya untuk berjuang dirantau orang, tiba-tiba memeluk saya lama sekali saat akan mengantarkan saya ke BIM (Bandara Internasional Minangkabau). Pecah sudah suasana rumah di hari keberangkatan saya. Saya yang sudah berusaha menahan tangis dari tadi, ternyata kalah juga, dan haru-biru lah suasana pagi itu.

            “dek, obat-obatan semalam sudah masuk tas semua?”
            “udah mam..”
            “dek, sampai disana langsung telpon kerumah ya?”
            “iya mam..”
            “dek, kalau sakit kasih kabar, biar mama kesana!”
            “siap mam..”
            “dek, kalau uang habis, bilangin ke mama atau papa ya!”
            “makasih mam..”
            “dek jangan nakal-nakal disana”
            “oke mam”
            “pokoknya kalau ada apa-apa kasih tau ya nak..” papa menyambung.
            “iya papa… makasih ya pa”? sambil memeluk mama dan papa.

Namanya juga baru pertama kali, ya pastilah mama akan secerewet ini. Yang hari biasa saja sudah cerewet soal ini-itu, apalagi soal merantau yang anaknya akan jauh dari penglihatannya, ya pastilah akan dibahas semuanya dari A hingga Z. Walau sedikit sedih karena akan jauh dari keluarga sementara waktu, namun ada setitik bahagia karena salah satu keinginan saya akhirnya tercapai juga. Yeayy…

Pesawat saya berangkat jam 11.30 siang, jam 10 lewat 5 menit saya sudah sampai di Bandara BIM. Setelah berpelukan lagi dengan abang, dan sedikit bisikan lirihnya saya menghapus air mata yang kesekian kalinya. “adek disana hati-hati ya banyak orang jahat!” dan si abang langsung berlalu mebalik badan menuju parkiran. Sepertinya abang juga sedang menangis, dan malu dengan adiknya kalau ketahuan sedang menyeka air matanya. Dalam hati saya menjawab “iya bang, adikmu akan selalu hati-hati!”

Hari ini, seperti menonton drama Korea, saya menangis terisak-isak saat membayangkan satu persatu wajah keluarga saya. Kok jadi lebay yah? Padahal Padang-Jakarta kan cuma 2 jam, bisa saja pulang kapan saja. Anggap saja seperti Padang-Bukittinggi yang ditempuh dengan jarak dan waktu yang sama. Ah, ini hanyalah masalah pertama kali, nanti kalau sudah terbiasa jadi biasa aja kok.

See you Padang, I will miss you everyday, saat saya melihat keluar jendela ketika Pesawatnya take off, dan saya nangis kembali. Padahal ini bukan drama korea, saat Goo Jun Pyo meningglakan Geum Jan Di keluar Negeri. Ini tuh nyata, sebentar lagi saya akan melalui hari-hari sendiri tanpa mereka yang dekat di hati.

Dari atas pesawat, terlihat kota Padang sudah jauh berlalu. Masuklah suasana seribu pulau yang indah. Pulau-pulau kecil yang terlihat seperti semut dari jendela peswat ini, ya.. sebentarlagi pesawat akan mendarat di bandara Soekarno Hatta, itu tandanya bendera kemerdekaan sudah dikibarkan. Inilah hari pembebasan itu. Tidak mudah menuju hari ini buat saya, saya harus melalui banyak cerita dulu, sampai harus melewati sinetron perjodohan segala. Tapi, semua indah pada waktunya kan. Saya percaya akan hari ini pasti datang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS