Pages

Plus Minus Si Perantau

Rabu, 12 Agustus 2015


Plus Minus Si Perantau.

Ada plus pastilah ada minus juga, dan inilah cerita dari pengalaman saya menjadi Si Perantau di Ibukota. Ada seru, ada sedih, dan banyak lagi. Komplit seperti nasi goreng gila si abnag-abang depan gang kosan.

Yang pertama adalah soal kata-kata “perhitungan”? buat saya julukan itu sedikit menyakitkan hati, karena menurut saya itu hanya bahasa halus dari “Pelit”. Iya kan? Di kantor tempat saya kerja, sekarang saya diberi julukan seperti itu. Padahal apa yang salah dengan “ke-perhitungan” ini? Saya hanya mencoba menjadi anak yang baik dengan memaruh gaji saya untuk keseharian dan tabungan. Sambil mengumpat, memangnya mereka yang sudah enak tinggal sama orang tuanya disini! makan sudah tersedia, tempat tinggal sudah ada, kalau sakit ada yang mengurus. Sedangkan saya? Disini seorang diri, tinggal di kos-kosan yang sempit dengan biaya kosan seperempat dari gaji saya perbulannya. Belum lagi soal makan yang semuanya harus dibeli dari pagi, siang, dan malam. Belum lagi juga untuk biaya tak terduganya. Apakabarnya sama bedak, lipstik dan nonton bioskop? Belum lagi popcornnya. Nah, sisa-sisanya (kalau ada) baru masuk
ke tabungan. Jadi, apa permasalahannya dengan Perhitungannya saya?

Yang kedua soal “keuntungan”. Ternyata di Jakarta itu rata-ratanya adalah “urang awak” lho! Yang artinya banyak juga orang Padang yang tinggal disini. Di Tanah Abang contohnya, kalau kamu belanja pakaian dengan logat dan gaya bahasa yang Minang banget, kamu akan dapat harga berbeda dari orang-orang.

            “da bara baju sirah ko da?”
            “limopuluah diak..” si uda dengan senyum menjawab. “dima Padangnyo diak?”
            “di tabiang da.. Uda dima?”
            “ooo.. uda di Bukik”

Dan dengan sendirinya setelah itu harga yang tadinya Rp. 50.000 menjadi Rp. 35.000. seru kan?
Alhamdulillah sekali ya, rejeki anak baik. Nah buat yang merasa anak Minang banget, banggalah dengan bahasa tercinta kamu itu. Tidak hanya di Tanah Abang, di Restoran Padang juga rata-rata seperti itu. Tapi kalau ketemu sama penjual yang juga orang Padang ya! Bahkan kalau kamu bisa mencuri hatinya saat ngobrol, bisa digratiskan minum jus nya lho!! Wah wah.. senang sekali dengan bahasa Minang ini, jadi hemat banget pengeluarannya.  

Yang ketiga soal “pilihan”. Nah permasalahan yang ketiga ini cukup berat. Pilih-pilih teman. Disini banyak yang bermuka dua, katanya. Ada yang pura-pura, dan ada juga yang kelihatannya saja sangar tapi kalau sudah bicara kemayu, yang itu agak sedikit ekstrim sih, tapi memang ada.

Pilihannya, adalah mau dibawa kemana Masa Muda kamu ini? Kalau kamu mau punya banyak teman dengan cara menghamburkan uang gajimu hanya untuk ngumpul-ngumpul seru di kedai kopi setiap malam, kamu tidak akan merasakan yang namanya kesepian. Tapi tabunganmu?? Akan berbeda jika kamu memilih nonton Film di laptop dari Toko Kaset Dvd Rp. 20.000 dapat 3 biji. Kamu akan menghabiskan malam di dalam kamar hanya dengan kasur, bantal, guling, dan wafer. Sedikit kesepian namun banyak tabungan.
Yap itulah pilihannya! Dan saya lebih memilih pilihan yang terakhir, karena menurut saya teman itu hanya ada saat tertawa. Oups.. maafkan statement saya yang itu! Saya lebih memilih punya tabungan banyak agar bisa dibawa pulang untuk membahagiakan Mama Papa. Walau terdengar agak klise sih, tapi tujuan saya saat ini adalah memang untuk membahagiakan mereka.

Hidup di rantau memang seperti permen masa lampau yang manis-asam-asin. Komplit. Kamu harus pilih yang mana sesuai dengan Passion kamu. Jangan ikut-ikutan, karena hanya akan menyesatkan. Katanya sih, dewasa versi anak rantau berbeda lho dewasa versi anak yang masih tinggal sama orang tuanya!! Mungkin pengalaman saya ini salah satunya. Mereka yang tinggal dengan orang tuanya tidak akan merasakan getirnya “menyisakan uang” agar bisa pulang kampung saat Lebaran.

Dan satu lagi, getir lainnya adalah disaat saya lebih memilih waktu lembur paling lama dibandingkan teman-teman kantor lainnya. Alasannya cuma “di kamar kosan mau ngapain?” dan jadilah saya dengan layar komputer ini hingga larut malam. Dengan segelas cappuccino kesukaan, dan membayangkan uang lemburan sedang berjalan menuju tabungan saya, saya menjadi semangat seperti pejuang 45 yang akan berperang dengan penjajah. Inilah secercah cerita plus-minus saya saat di rantau yang getir, geli-geli tir..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS