Istirahatnya udah cukup
lama dari sakit yang waktu itu. Alhamdulillah si darah kotor keluar juga,
ihii.. dan persiapan pernikahan sudah mulai beres satu persatu.
Lebaran tiba, dan saya
harus pulang ke Padang untuk menyiapkan surat-surat KUA dan cek ini itu biar
acaranya berjalan lancar. Walau sebenarnya bisa dari telepon atau whatsapp aja
sih, tapi yaa gitudeh namanya perempuan rempong yaa..
Seminggu lebih di
kampung halaman dan perbaikan gizi alias semua apa di makan, akhirnya balik
lagi ke Jakarta, ke rutinitas yang “ouhhh”. Saya berangkat malam, dan cuaca
saat itu kurang bagus, semoga nggak terlalu goyang parah di dalam Pesawat. Sepanjang
perjalanan saya hanya mendengarkan musik sambil mencoba tidur, walau
bentar-bentar bangun tapi ya lumayanlah. Hingga Pesawat mendarat dengan mulus
dan tibalah di Bandara Soeta.
Pertama kali menginjakkan
kaki di Jakarta, pelukan si mama saat pamit tadi masih terasa, dan tiba-tiba
malas kembali ke rutinitas kerja, maunya dekat-dekat orang tua terus, biar cuma
ngurusin sawah aja kalau di kampung. Hushh.. hasrat sesaat saja memang.
Jam 23. 30 saya baru
dapat Damri jurusan Lebak Bulus, kurang lebih setengah jam nunggu akhirnya tiba
juga sang jurusan. Saya duduk paling depan, pas banget di belakang supir. Di sebelah saya seorang
cowok. Sebut saja “Mawir”. Karena saya lupa menanyakan namanya.
“mau kemana mba?” mawir
mulai bertanya.
“Pamulang mas”.
“ouh.. jauh
ya?sendirian?”
“hmm, enggak juga. Iya!”
Percakapan basa-basi
ala cowok ini udah biasa di dengar. Awalnya saya nggak mau ngobrol, karena mau
istirahat di Damri, tapi si Mawir sepertinya abis minum kopi, jadi matanya
melek dan pengen di temenin ngobrol. Yaa jadinya saya terpaksa jawab-jawab
sekenanya.
Mawir ternyata seorang duda,
asli Pekanbaru, berumur 34 tahun, punya anak perempuan satu, istrinya dulu
orang Sunda, dan calon istri sekarang orang Padang, bekerja di Jakarta selatan,
dan bercerita tentang perceraiannya. Entah apa, tiba-tiba cowok satu ini bikin
saya ngobrol asyik selama perjalanan hingga saya lupa kalau lagi ngantuk dan
ikutan curhat. Cerita Mawir cukup menarik, dan pengalaman baru buat saya. Sempat
greget waktu dia bilang Padang dan Sunda itu nggak cocok, di saat-saat tinggal
menghitung hari ke pelaminan, si Mawir nakut-nakutin begitu minta ditimpuk. Hingga
dia bercerita banyak dan akhirnya kita sama-sama bertukar pikiran bahwa Jodoh
nggak bisa dilihat dari perbedaan suku, kebiasaan, dan apalah itu. Yang penting
adalah bagaimananya pribadi masing-masing pasangan harus saling melengkapi dan
menutupi kekurangan, bukan mencari kesempurnaan.
Mawir adalah teman tak
terduga yang menyenangkan. Walau hanya 1 jam perjalanan, kita sama-sama berbagi
ilmu. Walau ilmu Padang saya belum hebat, yaa cukuplah buat referensi buat
calon istri barunya sekarang. Dan semoga kita dapat bertemu di lain kesempatan
dan lebih beruntung, aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar